Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah harus bisa meyakinkan investor obligasi yang saat ini enggan masuk ke pasar terkait kebijakan ekonomi Indonesia.
Kepercayaan investor dibutuhkan ketika data-data perekonomian menunjukkan kelesuan ekonomi Indonesia di tengah kelesuan pasar surat utang global.
Pasar obligasi global hari ini mengalami tekanan yang berawal dari aksi jual surat utang di Eropa setelah euforia monetary easing bank sentral Uni Eropa memudar.
Imbal hasil T-Bond Amerika Serikat hari ini naik ke level tertinggi 2015 di 2,299%. Adapun yield obligasi pemerintah Jepang melonjak 17,80% ke 0,460% pada pukul 12.44 WIB.
Di Indonesia, tren penjualan obligasi pemerintah kini telah berlangsung 7 hari dan mendorong yield SUN bertenor 10 tahun melonjak dari 7,665% menuju level tertinggi tahun ini di 8,209%.
Pada saat yang sama, pemerintah masih membutuhkan pembiayaan untuk menopang pengeluaran infrastruktur.
Pemerintah Indonesia beberapa waktu yang lalu telah mengumumkan rencana penerbitan Samurai Bond. Kepergian Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ke Inggris diduga terkait rencana penerbitan sukuk global.
Josua Pardede, ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), mengatakan pasar obligasi global masih akan tertekan dalam beberapa waktu ke depan.
Ketakutan atas kenaikan The Fed Rate kembali menekan kinerja pasar setelah pernyataan Gubernur bank sentral AS The Fed Janet Yellen soal valuasi saham dan dolar Amerika Serikat, yang menurut Yellen, terlalu tinggi.
Namun, Josua menegaskan tekanan terhadap pasar sekunder obligasi pemerintah RI tidak sebatas fenomena global melainkan timbul dari faktor-faktor domestik.
“Isunya di Indonesia bukan hanya global. Pelambatan PDB kuartal I/2015, khususnya, yang menjadi faktor koreksi. Inflasi yang meningkat dan faktor penyerapan anggaran pemerintah, dan penerimaan pajak yang renda,” katanya, Selasa (12/5/2015).
Dia menambahkan investor masih enggan membeli SUN di pasar sekunder karena ketidakpastian politik, khususnya isu reshuffle menteri ekonomi di kabinet Presiden Jokowi.
“Data positif mungkin bisa menggerakan pasar. Misalnya surplus neraca perdagangan, tapi pemerintah juga bisa meyakinkan pasar misalnya dengan crisis management protocol. Bank Indonesia juga kelihatannya terus menopang di pasar sekunder,” kata Josua.
Porsi kepemilikan Bank Indonesia atas SUN per 8 Mei 2015 telah mencapai 6,84%, padahal pada 28 April 2015 baru 5,83%.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri sebelumnya mengungkapkan investor pasar obligasi memiliki keraguan tentang kebijakan fiskal pemerintah RI.
Pertanyaan utama dari para investor adalah sikap pemerintah soal reformasi subsidi BBM, terutama tentang keberlanjutan pencabutan subsidi bagi bensin jenis Premium.
Harga Premium yang relatif landai dibandingkan kenaikan harga minyak dunia, rencana produk Pertalite, dan desakan dari penentang kebijakan subsidi dari partai pendukung pemerintah membuat informasi simpang siur.
“Mereka tanya ke saya, premium itu bagaimana? Jika informasi [dari pemerintah] tidak pasti pasar bisa berpikir defisit fiskal bisa melebar. Pasar kan buat hitungan sendiri kalau informasinya tidak sempurna,” kata Chatib.