Bisnis.com, JAKARTA- Himpunan Pengusaha Muda Indonesia mengajak kaum buruh untuk memerangi ekonomi biaya tinggi sebagai pengganjal perkembangan ekonomi di Indonesia.
"Kami mengajak teman-teman buruh untuk memerangi biaya tinggi diperekonomian kita," ujar Ketua Umum Hipmi Bahlil Lahadalia, Jumat (1/5/2015).
Bahlil mengatakan inefisiensi ekonomi masih menjadi momok menakutkan di dunia usaha karena berefek biaya produksi di Tanah Air tidak mampu bersaing bahkan dengan sesama negara Asean. Ekonomi biaya tinggi utamanya dipicu oleh pungutan liar mulai dari perizinan di birokrasi, proses produksi, distribusi, hingga loading di pelabuhan.
Tidak hanya itu, lanjutnya, ekonomi biaya tinggi juga dipicu oleh tingginya biaya logistik serta rendahnya akses memperoleh bahan baku industri.
"Kalau yang fix cost ini masih bisa kita siasati secara kreatif tapi kalau variable cost ini kan susah ditebak. Rata-rata variable cost ini datang dari pungli dan biaya di birokrasi," pungkas Bahlil.
Bahlil menilai reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah belum cukup menekan pungli di birokrasi.Pasalnya, reformasi belum diikuti oleh implementasi administrasi dan sistem yang terintegrasi utamanya dalam perizinan.
Pada bagian lain, Sekjen BPH Hipmi Priamanaya Djan mencontohkan inefisiensi itu masih banyaknya pungutan-pungutan di berbagai daerah yang regulasinya masih tumpang tindih.
”Misalnya, kita kirim barang dari Tangerang ke Purwakarta. Masing-masing daerah punya pungutan yang harus dibayar di daerah-daerah kabupaten dan kota yang dilalui. Makanya biaya logistik kita sangat tinggi. Masing-masing daerah pungut retribusi,” papar.
Pria mengatakan, inefisiensi ini berdampak pada rendahnya kemampuan perusahaan dalam memenuhi standar kesejahteraan bagi karyawan. “Sebab, pengusaha pun untungnya sudah sangat sedikit,” ujarnya.
Hipmi, katanya, mendesak agar pemerintah segera melakukan reformasi birokrasi dengan mengimplementasikan prinsip effective and efficient government. Pemerintah perlu melakukan penataan ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan, serta mengkaji Peraturan-Peraturan Daerah yang tumpang tindih dan memberatkan beban operasional dunia usaha.
Pria mengatakan layanan birokrasi dan ketenagakerjaan semestinya menjadi keunggulan komparatif (comparative advantages) bagi investasi bila ditata dengan baik. Pria mengatakan, berdasarkan publikasi The global Competitives Report World Economic Forum, daya saing saing pada 2013-2014, Indonesia berada di urutan 38.
Angka ini memang lebih baik dibanding tahun 2008-2009 yang berada di urutan 55. Namun daya saing ini jauh dibawah Singapura, misalnya berada di posisi 2, Malaysia (24), Brunei Darussalam (26) dan Thailand (37).
Sementara itu, untuk memulai usaha, di Indonesia juga masih belum efisien. Indonesia berada diperingkat 155, menurut IFC dalam tajuknya Doing Business 2015. Untuk memulai usaha, seorang pengusaha membutuhkan 10 prosedur di birokrasi, dan menunggu sampai 52,5 hari. Indonesia kalah jauh dari Malaysia yang berada di peringkat 13, hanya 3 prosedur dan cukup 5,5 hari.