Bisnis.com, JAKARTA - Tanggal 1 Mei selalu punya arti penting bagi buruh di dunia. Hari Buruh Internasional (May Day) telah mengukir makna dan sejarah panjang bagi buruh, tak terkecuali para pekerja perempuan.
Di Indonesia, keadilan dan kesetaraan gender khususnya di bidang pendidikan dan dunia kerja telah lama diperjuangkan Raden Ajeng Kartini. Sosok yang kelahirannya pada 21 April - dua pekan menjelang May Day - kemudian diabadikan sebagai Hari Kartini ini telah menginspirasi perempuan modern untuk melawan stereotip dan diskriminasi perempuan.
Kesetaraan gender di bidang pendidikan telah dirasakan perempuan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023, persentase perempuan tamat Perguruan Tinggi mencapai 10,63%, lebih banyak dibandingkan laki-laki 9,68%.
Artinya, hampir 11 dari 100 perempuan meraih ijazah pendidikan tinggi. Perempuan berpendidikan tinggi di perkotaan jauh lebih banyak dibandingkan pedesaan, yaitu 13,66% berbanding 6,32%.
Sayang, tingginya representasi perempuan dalam pendidikan tinggi tidak ditranslasikan secara proporsional pada pasar tenaga kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan jauh di bawah TPAK laki-laki, dan cenderung stagnan dalam dua dasawarsa terakhir.
BPS mencatat TPAK perempuan 2023 sebesar 54,52%, jauh lebih rendah dibanding TPAK laki-laki 84,26%. Ada fenomena menarik terkait TPAK perempuan. Partisipasi angkatan kerja perempuan di perkotaan sebesar 52,2% dibanding perdesaan 56,7%.
Baca Juga
Perempuan urban menghadapi tantangan dalam keterlibatannya di pasar tenaga kerja, terutama di sektor formal. Banyak perempuan berpendidikan tinggi melakukan pekerjaan yang tidak memanfaatkan seluruh potensinya, atau bahkan terpaksa keluar dari pasar tenaga kerja.
Perempuan usia 20-24 tahun memiliki partisipasi tertinggi dalam angkatan kerja di perkotaan. Namun, setelah memasuki usia 25 tahun, TPAK perempuan di perkotaan turun signifikan menyusul masa pernikahan dan memiliki anak.
Beban Ganda dan Pekerjaan Tak Berbayar
Kota telah menjadi pusat pertumbuhan dan peluang kerja. Namun, perempuan urban khususnya yang telah berkeluarga dan menjadi seorang ibu, seringkali menghadapi tantangan yang kompleks. Para ibu bekerja dihadapkan pada jalan sulit dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan peran sebagai ibu, pengasuh anak-anak serta mempertahankan karier profesional yang kompetitif.
Budaya patriarki pada masyarakat Indonesia juga menjadikan perempuan sebagai penanggung beban ganda pada pekerjaan tak berbayar berupa pengasuhan, perawatan, dan pekerjaan domestik mengurus rumah tangga. Perempuan melakukan pekerjaan tak berbayar 3,2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, sehingga mengurangi kesempatan berkontribusi pada pekerjaan berbayar.
Tantangan lain muncul terkait dukungan sosial dan infrastruktur. Keterbatasan fasilitas penitipan anak yang layak dan terjangkau menjadi hambatan serius bagi ibu pekerja.
Namun, biaya tempat penitipan yang bagus sangatlah mahal. Jam kerja yang panjang pada pekerjaan formal ditambah lamanya waktu tempuh dari dan ke tempat kerja, juga menjadi pertimbangan bagi perempuan untuk tidak terlibat ke dalam pekerjaan berbayar atau memilih berhenti bekerja.
Survei Komuter Jabodetabek 2023 oleh BPS menunjukkan sekitar 60% pekerja menempuh jarak 10-40 km ke tempat kerja dan menghabiskan 30-90 menit untuk perjalanan sekali jalan. Riset lain menyebutkan orang tua yang bekerja di Jabodetabek terpisah dari anak-anak mereka selama 10 jam atau lebih setiap hari, sebagian karena perjalanan jauh.
Tanpa langkah konkret, bisa jadi akan ada stagnasi, bahkan penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan yang merugikan. Padahal, McKinsey Global Institute (2018) memprediksi peluang Indonesia menambah Produk Domestik Bruto hingga US$135 miliar jika mampu meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan hingga 56% di tahun 2025.
Lantas upaya konkret apa yang bisa dilakukan? Pertama, kolaborasi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Upaya perbaikan bisa dimulai dari keluarga. Pembagian peran perempuan dan laki-laki di rumah tangga dapat mengurangi beban ganda perempuan. Kedua, investasi infrastruktur penunjang seperti fasilitas penitipan anak (daycare) yang layak dan terjangkau.
Disinilah negara hadir, baik di lingkup perizinan, standar, pengawasan, pendampingan, maupun pengelolaan daycare. Hal ini mengingat hampir 98% daycare di Indonesia dikelola swasta, dan hanya sedikit yang dikelola pemerintah.
Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) perlu terus didorong. Beleid ini mengatur kewajiban tempat kerja untuk menyediakan fasilitas daycare atau tempat penitipan anak, serta dukungan kepada ibu bekerja dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kinerja. Pemerintah juga sedang menyiapkan standarisasi Daycare Ramah Anak dengan Standar Nasional Indonesia.
Ketiga, dukungan lingkungan kerja yang inklusif. Kebijakan cuti melahirkan, cuti ayah, jam kerja fleksibel, serta bekerja dari rumah atau bekerja dari mana saja, merupakan kebijakan yang mulai diadopsi. Praktik baik ini perlu terus didorong agar bisa diberlakukan secara jamak di seluruh institusi atau korporasi di Indonesia.
Perusahaan seyogyanya mempertimbangkan penyediaan fasilitas penitipan anak sebagai investasi. Keberadaan daycare di tempat kerja akan memberikan rasa aman kepada ibu bekerja atas kesejahteraan anak-anaknya, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja, produktivitas, dan loyalitas pekerja.
Dengan dukungan dan kerja sama berbagai pihak diharapkan para ibu di perkotaan dapat produktif dan meraih kesuksesan baik dalam karier profesional maupun keluarga. Hal ini akan membawa dampak positif lain seperti peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi, menyejahterakan keluarga, serta memberikan dampak psikososial yang positif bagi tumbuh kembang anak.