Bisnis.com, JAKARTA—China pada akhir pekan lalu kembali menggulirkan stimulus moneter, kali ini melalui pemotongan giro wajib minimal perbankan.
Otoritas ekonomi terbesar kedua dunia tersebut diprediksi akan terus melonggarkan kebijakan moneter secara bertahap untuk mendongkrak sumbangan konsumsi domestik terhadap ekonomi.
Josua Pardede dari PT Bank Permata TBk (BNLI) mengatakan penurunan giro wajib minimal (reserve requirement ratio) China sebesar 1% pada akhir pekan lalu merupakan reaksi atas data ekonomi yang buruk sepanjang kuartal I/2015.
Produk domestik bruto China hanya tumbuh 7% pada kuartal I/2015, terendah dalam 7 tahun terakhir. Adapun laju pertumbuhan industri 5,6% pada Maret adalah yang paling rendah sejak November 2008.
Indikasi paling buruk tampak dari data pertumbuhan investasi. Investasi tetap China pada Maret, di luar rumah tangga pedesaan, hanya tumbuh 13,5% atau paling rendah dalam 15 tahun terakhir.
“Datanya tidak bagus, trade balance-nya turun dengan surplus sangat kecil. Pilihannya hanya adalah turunkan suku bunga, lending rate atau terakhir yang kemarin dilakukan, turunkan giro wajib minimal,” kata Josua kepada Bisnis.com, Senin (20/4/2015).
Bloomberg memprkirakan penurunan giro wajib minimal memberikan tambahan dana kepada bank-bank di China sekirar 1,2 triliun yuan atau US$194 miliar untuk disalurkan ke sektor riil.
Stimulus moneter China mendorong kenaikan harga-harga komoditas di pasar dunia mengantisipasi peningkatan konsumsi bahan baku oleh industri di negera eksportir raksasa tersebut.
Harga karet di bursa Tokyo sempat naik hingga 0,4%, harga minyak jenis brent naik hingga 1,40%, sedangkan harga tembaga melonjak hingga 2,04%. Kebijakan stimulus moneter tersebut mendongkrak indeks Shanghai melonjak hingga 1,53%.
Namun, sebagian bursa lain di Asia masih bergerak terbatas. Tingkat inflasi inti Amerika Serikat naik dari 1,6% pada Januari menjadi 1,7% pada Februari dan mencapai 1,8% pada Maret.
Kenaikan harga konsumen yang stabil memperkuat spekulasi kenaikan fed fund rate berpeluang terjadi dalam waktu dekat dan menekan pergerakan bursa di AS pada Jumat.
Josua memperkirakan China akan terus menggulirkan stimulus moneter baru untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, terutama untuk meningkatkan peran konsumsi rumah tangga dalam PDB.
Dia menjelaskan pemerintah China telah menyadari sisi negatif dari ketergantungan pada kinerja perdagangan dan investasi pada saat ekonomi global lesu. Kebijakan moneter yang lebih longgar diharapkan memacu konsumsi domestik di negeri Tiongkok.
Namun, pengaruh rentetan kebijakan pelonggaran moneter yang digulirkan China sejak Februari baru akan tampak pada kuartal III/2015.
“Mereka masih punya ruang yang besar [untuk kebijakan moneter lain], apalagi didukung oleh reserve mereka,” kata Josua.
Tingkat suku bunga 1 tahun China telah dua kali dipangkas yaitu pada Februari dan Maret. Selain itu, China telah menetapkan batas uang muka minimal untuk KPR kedua yang lebih rendah.
Pada akhir Maret 2015, China tercatat memiliki cadangan devisa US$3,73 triliun, sedangkan tingkat giro wajib minimal masih pada kisaran 18,5% jauh di atas batas yang diberlakukan bank sentral lain di dunia.