Bisnis.com, PEKANBARU -- Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dipastikan akan mengancam industri kehutanan Tanah Air berhenti beroperasi yang akhirnya bisa berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Ketua Asosiasi Pengelola Hutan Indonesia (APHI) bidang Hutan Tanaman Industri Nana Suparna mengatakan ada beragam kerugian yang terjadi bila PP 71/2014 dipaksakan untuk diberlakukan.
"Dari segi ekonomi, negara berpotensi kehilangan investasi dari sektor industri kehutanan yang mencapai nilai Rp103 triliun," katanya, di Pekanbaru, (30/3).
Nana hadir di Pekanbaru sebagai salah satu pemateri dalam seminar bertema "Gambut: Pengelolaan dan Penerapan Berkelanjutan Demi Kemakmuran Bangsa" yang dibuka oleh Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto Hadi Daryanto dan para pemangku kepentingan seperti akademisi dan perwakilan pelaku usaha kelapa sawit serta HTI.
Nana mengatakan salah satu aturan yang akan mematikan industri kehutanan adalah batasan minimal tinggi muka air gambut mencapai 40 cm. Aturan ini akan menghambat pelaku industri dalam menanam komoditas seperti kelapa sawit dan pohon akasia.
Kondisi ini mengakibatkan perusahaan yang telah lebih dulu memegang izin untuk mengelola hutan, akan tutup dan tidak lagi beroperasi. Bila ini terjadi, sekitar 300.000 tenaga kerja yang bekerja di sektor kehutanan akan kehilangan mata pencaharian.
Dampak lain yang timbul menurut Nana, yaitu hilangnya potensi pemasukan devisa senilai US$5,6 miliar setiap tahunnya dari ekspor komoditas kehutanan.
"Pemerintah saat ini sepertinya gamang, mau menjalankan aturan akan mengancam industri, tapi mau mencabut juga aturan baru dikeluarkan. Tetapi jika dibiarkan berlarut-larut juga tidak baik," katanya.
Adapun dari sektor perkebunan, aturan PP 71/2014 ini mengancam keberlangsungan industri kelapa sawit nasional yang juga didera pelemahan harga di pasar internasional.
"Kami seperti dilema, di luar negeri harga sawit cenderung melemah dan di dalam negeri malah keluar aturan yang menghambat perkembangan industri sawit," kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau Hinsatopa Simatupang.
Menurutnya, beleid yang mengatur soal tata kelola gambut ini sangat berpotensi merugikan tidak hanya pelaku industri tetapi juga negara.
Di antaranya negara berpotensi kehilangan devisa senilai Rp1,36 triliun setiap tahun, lalu kehilangan pendapatan dari ekspor sawit dan turunannya senilai Rp20 miliar.
Selain itu, sebanyak 260.000 orang tenaga kerja bidang perkebunan sawit tidak lagi bisa menafkahi keluarganya bila aturan ini berjalan.
"Belum lagi daerah atau desa yang ada di sekitar perkebunan sawit akan kehilangan potensi pengembangan ekonomi, karena semua industri sawit nasional memberdayakan petani kecil untuk memasok bahan baku," katanya.
Untuk itu pihaknya mengharapkan kepada pemerintah untuk segera melakukan revisi aturan pada PP 71/2014 sehingga tidak merugikan industri kehutanan dan perkebunan nasional.
Adapun Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan pihaknya masih menunggu masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan terkait aturan pengelolaan gambut.
"Kami masih menunggu masukan dari berbagai pihak seperti pelaku industri, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat sekitar lahan gambut," katanya.
Menurut Hadi, pemerintah berkomitmen untuk memastikan industri bidang kehutanan tetap berjalan baik dengan memerhatikan pengelolaan gambut yang berkelanjutan.