Bisnis.com, PEKANBARU -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) masih menunggu masukan dari berbagai pihak, termasuk para pelaku usaha, sebelum membahas rencana revisi PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Sekretaris Jenderal Kementerian LHK Hadi Daryanto mengatakan pemerintah saat ini dalam posisi menerima setiap masukan dari berbagai pihak terkait pengelolaan lahan gambut di Tanah Air.
"Pemerintah posisinya sebagai simbol negosiator dan kami menerima masukan dari pihak yang berkepentingan seperti pelaku usaha, LSM, dan masyarakat adat," katanya pada seminar Pengelolaan Gambut, di Pekanbaru, Kamis (26/3).
Hadi mengatakan memang banyak desakan untuk merevisi aturan tersebut karena dinilai merugikan kalangan pengusaha sawit dan kehutanan. Namun, lanjutnya, untuk melakukan revisi diperlukan telaah dan kajian yang menyeluruh sehingga alasan untuk merevisi bisa dipertanggungjawabkan.
“Sekarang silahkan uraikan dampak dari PP Gambut di sektor ekonomi, lingkungan, dan sosial. Lalu usulkan secara resmi kepada kami sebagai bahan masukan,” katanya kepada para pengusaha sawit dan kehutanan di Riau.
Dari beberapa pemaparan yang disampaikan kepadanya, ada potensi kerugian yang akan diderita pengusaha bila beleid ini diterapkan. Di antaranya yaitu dari komoditas sawit, akan terjadi kehilangan devisa senilai Rp1,36 triliun dan sebanyak 300.000 tenaga kerja di sana akan kehilangan pekerjaan.
Selain itu ada juga potensi hilangnya pendapatan negara yang cukup besar dari sektor pajak yang telah dibayarkan korporasi bisang kehutanan dan perkebunan.
"Kami butuh waktu dan masukan dalam melakukan revisi ini, sesuai dengan komitmen pemerintah dan Presiden Jokowi saat berkunjung dan meninjau langsung pengelolaan gambut," katanya.
Pada kesempatan sama, Ketua Bidang Hutan Tanaman Industri Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna mengatakan pemerintah harus memiliki keberanian merevisi PP 71/2014 untuk mendukung kepentingan nasional.
"Indonesia punya banyak kelebihan dalam pengelolaan hutan dibanding negara lain dan ini menjadi ancaman bagi bisnis mereka. Pemerintah harus berani merevisi itu," katanya.