Bisnis.com, SEMARANG - Pengusaha di sektor industri farmasi Indonesia memproyeksikan ada tambahan investasi senilai US$500 juta untuk mendukung pemerintah seiring implementasi program jaminan kesehatan nasional (JKN).
Dana investasi sebanyak itu bakal digunakan untuk renovasi perusahaan dan pembangunan pabrik farmasi baru di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Darodjatun Sanusi mengatakan realisasi investasi itu bakal terlaksana dalam lima tahun ke depan. Saat ini, menurutnya, terdapat lima perusahaan farmasi mengakuisisi antara perusahaan farmasi lainnya.
“Investasi industri farmasi kurang lebih US$500 juta. Nilai itu sangat besar,” papar Darodjatun kepada Bisnis di sela-sela acara seminar Industri Farmasi Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di Semarang, Rabu (18/3/2015).
Dengan angka investasi yang cukup besar, Darodjatun meminta pemerintah untuk mendorong adanya percepatan proses perizinan. Dalam hal ini keterlibatan Kementerian Kesehatan dan BPOM untuk mempermudah segala sesuatunya sangat dibutuhkan oleh kalangan pengusaha.
Bagi perusahaan farmasi yang telah memiliki sertifikat, ujarnya, mestinya dilakukan pembinaan sehingga pengembangan industri farmasi nasional dapat meningkat.
“Kalau itu berjalan. JKN ini bisa dimanfaatkan suatu kekuatan ekonomi nasional, keinginan pengusaha untuk memproduksi bahan baku sangat besar,” paparnya.
Menurutnya, kalangan pengusaha siap membangun industri bahan baku asalkan pemerintah menjamin produk bahan baku dalam negeri untuk kebutuhan program JKN tersebut.
Darodjatun mengakui dulu pernah ada tujuh pabrik yang memproduksi bahan baku farmasi. Karena tidak ada dukungan dari pemerintah, ujarnya, perusahaan tersebut akhirnya kolaps atau gulung tikar karena tidak bisa berdaya saing.
“Dalam menghadapi MEA, industri farmasi Indonesia saya rasa kuat. Namun perlu ada penguatan industri dalam negeri,” ujarnya.
Pihaknya mengatakan tahun ini omzet penjualan farmasi ditargetkan bisa menembus angka Rp70 triliun. Darodjatun optimistis dengan target itu dapat terealisasi karena kebutuhan farmasi dalam negeri dirasa masih kurang.
Perihal dampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS, pihaknya mengakui dapat menghambat perkembangan industri farmasi. Pasanya, saat ini bahan baku farmasi sekitar 95% masih impor sehingga harga mengikuti dengan perekonomian dunia.
Dalam kesempatan itu, Ketua GP Farmasi Jawa Tengah Koesbintoro Singgih mengatakan industri farmasi di daerah telah siap bersaing dalam menghadapi pasar bebas Asean awal 2016.
Dia mengakui kendala yang dihadapi pengusaha farmasi yakni adanya aturan yang cukup ketat dari pemerintah. Hal itu membuat pengusaha untuk kesulitan untuk berkembang.
“Kalau standar produk sebenarnya tidak ada masalah. Tapi proses perizinan yang perlu dipermudah,” ujarnya.
Koesbintoro mengatakan program JKN dapat memacu penjualan obat jenis generik. Menurutnya, persaingan yang dialami pengusaha antara lain soal harga maupun kualitas dari produk obat tersebut.