Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menilai penerapan retensi lebih baik ketimbang bea keluar ekspor rumput laut kering guna memprioritaskan suplai ke industri pengolahan domestik.
Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kemenperin Faiz Ahmad mengaku belum ada kajian khusus terkait opsi sistem retensi. Tapi diasumsikan porsi ideal bisa 60% untuk domestik dan 40%. Kisaran lain bisa juga dibuat seimbang alias 50% berbanding 50%.
Petani rumput laut mengaku selama ini lebih memilih ekspor karena harga lebih baik dibandingkan dijual ke industri pengolahan lokal. Sejumlah negara tujuan ekspor ialah China, Filipina, dan Cili.
Menurut Faiz, harga beli rumput laut di dalam negeri sudah ideal. “Biaya produksi rumput laut sekitar Rp4.000 per kg basah, sedangkan harganya Rp10.000 – 12.000 per kg, yang diterima petani cukup memadai,” kata dia, Senin (2/3/2015).
Sementara itu, wacana penetapan bea keluar juga ditolak Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) karena bisa mengancam produktivitas petani rumput laut. Catatan saja pemerintah berencana mengenakan BK 21% untuk rumput laut E. Cottonii, 44% untuk Gracillaria, dan 12% E. Spinosum.
“BK akan berimbas kepada penurunan produksi. Pengenaan ini tidak jelas dasar-dasarnya dan pemerintah tidak pernah melakukan konsultasi dengan gubernur dan bupati daerah pengasil rumput laut maupun dengan produsennya,” ujar Ketua ARLI Safari Azis.
Pada sisi lain Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) merasa daya beli industri pengolahan domestik rendah dibandingkan dengan pembeli dari China, Filipina, dan Cili, sehingga petani lebih memilih ekspor.
Namun menurut Faiz, harga beli rumput laut di dalam negeri sudah ideal. “Biaya produksi rumput laut sekitar Rp4.000 per kg basah, sedangkan harganya Rp10.000 – 12.000 per kg, yang diterima petani cukup memadai,” kata dia.
ARLI menyatakan ketersediaan bahan baku rumput laut di tingkat petani masih banyak. Mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan, ujar Safari, produksi rumput laut lebih dari 10 juta ton basah jika dikonversi ke kering menjadi 1 juta ton pada 2014. Adapun kebutuhan tahun ini dinyatakan Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) hanya mencapai 87.429 ton.
“Selain itu jika BK diberlakukan, petani tidak lagi berhasrat untuk menanam rumput laut karena keterbatasan serapan pasar,” tutur Safari.
ARLI mengklaim wacana BK tersebut membuat pedagang lebih berhati-hati membeli dari petani. Selain itu pembeli dari luar negeri juga mulai beralih ke negara penghasil rumput lain, seperti Vietnam, Bangladesh, India, Sri Lanka dan Malaysia.