Bisnis.com, JAKARTA - Ada kalanya keputusan pemerintah dan DPR menaikkan alokasi subsidi biodiesel sebesar Rp4.000 per liter menjadi suatu langkah baik. Apalagi, dengan peningkatan alokasi itu diharapkan konsumsi masyarakat terhadap penggunaan produk dari turunan kelapa sawit ini semakin meningkat.
Namun, langkah baik ini tampaknya belum sejalan dengan yang dirasakan para produsen biodiesel. Penyebabnya, perubahan indeks harga biodiesel itu sendiri belum mendapat sinyal positif dari pemerintah dan Pertamina.
Produsen menginginkan penentuan harga tidak lagi mengikuti Mean of Platts Singapore (Mops) yang 4 bulan terakhir ini turun di angka US$450. Dengan angka tersebut, produsen biodiesel mengalami kerugian yang luar biasa mengingat harga CPO lebih tinggi di angka kisaran US$650.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsesn Biofuel Indonesia (Aprobi), memperkirakan kerugian dari rendahnya harga Mops mencapai US$900.000 atau sekitar Rp11 miliar per harinya. Pehitungan ini dibuat dengan asumsi rata-rata pasokan biodiesel per hari sebesar 6.000 kiloliter dengan ongkos produksi sekitar US$150 per harinya.
Dari perkiraan nilai kerugian tersebut, beberapa perusahaan mulai mengurangi pasokan ke Pertamina. Bahkan, sejak dua minggu lalu tercatat sudah ada dua perusahaan yang menghentikan pasokannya.
“Dan ke depan ini kmungkinan akan bertambah itu, karena merugikan kita dan ruginya luar biasa,” ujarnya.
Menanggapi kerugian ini, tentunya produsen mengingkan adanya penentuan harga yang lebih menguntungkan. Keinginan ini disampaikan lewat pertemuan antara Aprobi dengan Kementerian ESDM dalam sepuluh hari terakhir.
Pada pertemuan itu, Aprobi mengusulkan indeks harga baru adalah harga CPO ditambah ongkos produksi dan 3% margin.
“Kenapa 3%? kalau kontraktor 10% ya kita 3% saja,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Minyak Nabati Indonesia (Gimni) beberapa hari lalu.
Bagi Aprobi, permasalahan harga inilah yang akan menentukan bagaimana nasib industri ini mendatang. Bagi mereka, keputusan menteri ESDM dan Pertamina dalam penetapan harga itu menjadi kuncinya.
Paulus mengatakan Pertamina juga merupakan faktor penting untuk mengetahui nasib usaha ini. Pasalnya, meski pemerintah sudah menetapkan indeks harga yang lebih baik, Pertamina belum tentu mengikuti penetapan indeks harga tersebut dengan berbagai pertimbangan.
“Harapan kami indeks harga ini diikuti oleh Pertamina. Karena melihat pengalaman, ada kemungkinan tidak mengikuti juga,” katanya.
Sekretaris Jenderal Aprobi Togar Sitanggang mengatakan pembicaraan dengan Pertamina nantinya tidak hanya melihat kesepakatan harga. Namun juga menentukan bagaimana nasib kontrak-kontrak yang sudah berjalan.
“Bagaimana dengan kontrak yang sudah berjalan sampai dengan 2015 yang dua tahun itu, tender pertama dan tender ketiga. Harapan kita menggunakan harga indeks baru,” ujarnya.
Sebab, melihat pengalaman setahun belakangan ketika harga indeks baru ditentukan, harga itu hanya berlaku oleh tender baru dan di beberapa tempat saja. Ini membutkikan bahwa perbaikan harga saat itu tidak seluruhnya memperbaiki bisnis di sektor hilir sawit ini.
KONSUMSI
Togar mengatakan total konsumsi biodiesel dalam negeri pada 2014 sebesar 1,7 juta kiloliter. Angka itu menunjukkan pencampuran biodiesel masih di angka 5% pada 2014. Padahal, penggunaan biodiesel ini diwajibkan sebesar 10% atau B10 lewat Peraturan Menteri ESDM no.20/2014.
Dia menyimpulkan kurangnya persentase kandungan biodiesel tahun lalu disebabkan tender Pertamina yang berlarut-larut. Lamanya proses tender ini karena sulitnya menyepakati kepastian harga.
Tahun ini, kebutuhan dalam negeri diperkirakan masih sama dengan adanya ketentuan mandatori B10, yaitu sebesar 3,4 juta kiloliter dengan rincian 1,7 juta kiloliter untuk PSO dan I,7 juta kiloliter untuk non-PSO.
“Perkiraan 2015 biodiesel dalam negeri itu 3,4 juta kiloliter. Kalau dikonversi ke ton jadi 3,03 juta ton. Kita melihatnya 2,2 juta ton sudah tercapai bagus,” ujar Sahat menimpali.
Togar menghitung kebutuhan biodiesel pada tahun ini bisa saja meningkat hingga 4,2 juta kiloliter bila wacana menaikkan mandatori hingga B15 pada kuartal ketiga tahun ini terealisasi.
Menurutnya, para produsen biodiesel sangat menyambut baik wacana ini. Apalagi pada akhir tahun, peningkatan kapasitas produksi dimungkinkan bertambah sebesar 1 juta ton.
Saat ini, kapasitas produksi biodiesel masih pada angka 5,7 juta ton. Para produsen menyatakan siap memenuhi kebutuhan tersebut selama pemerintah mau memutuskan harga yang baik untuk para pelaku. “Kita siap saja. Yang penting pemerintah harganya bagus,” ujarnya.
EKSPOR 2 JUTA TON
Tidak jauh berbeda dengan penyerapan domestik, nasib ekspor biodiesel pun masih tetap sama. Tahun lalu, ekspor biodiesel tercatat sebesar 1,6 juta ton. Tahun ini, pencapaian ekspor diperkirakan sedikit menurun ke angka 1,4 juta ton.
Paulus menilai turunnya ekspor sejalan dengan menurunnya permintaan dari pasar Uni Eropa. Meski demikian, pihaknya menilai penurunan ini tidak akan signifikan karena adanya pasar baru yang melirik produk ini, seperti China, India, Australia, dan Amerika Serikat.
Bahkan, melihat potensi yang besar dari pasar baru itu, pelaku optimis eskpor tahun ini bisa meningkat hingga 2 juta ton. “Saya optimis sampai dua juta [ton ekspor]. Antara 1,4 juta sampai 2 juta. Tapi rata-rata ya 1,5 juta ton,” katanya.
Meski masih menargetkan angka yang tinggi pada ekspor, Togar mengatakan bisnis biodiesel ke depan masih menaruh harapan pada penyerapan domestik. Sebab, penyerapan domestik akan lebih pasti dengan adanya mandatory tersebut.
Pada akhirnya, wajar saja bila pelaku masih menuntut kepastian harga dari pemerintah. Sebab, produsen hilir sawit ini tidak hanya ingin bergantung pada pasar internasional yang tidak pasti. Toh, penggunaan bahan bakar berbasis agribisnis nomor satu di Indonesia ini menunjukkan sejumlah manfaat, termasuk dari sisi lingkungan.