Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Presiden Jusuf Kalla berkata tegas kepada boss PT Freeport Mc Moran Jim Bob, agar memenuhi sejumlah syarat untuk bisa memperpanjang kontrak di Papua.
"Take it or leave it," kata Wapres JK baru-baru ini, sembari meyakinkan bahwa Indonesia siap mengelola Freeport jika perusahaan asal Amerika Serikat itu tak mau memenuhi persyaratan yang diminta pemerintah Indonesia.
Wapres JK mengatakan, ada syarat yang tidak bisa dinegosiasikan (non-negotiable) dan harus dipenuhi manajemen Freeport agar bisa memperpanjang kontraknya kembali.
Sejumlah syarat itu antara lain, pertama, PT Freeport harus mengalokasikan penerimaannya untuk pembangunan seluruh wilayah Papua. Konsekuensinya, penerimaan Freeport harus auditable, artinya harus bersedia diaudit oleh pemerintah guna menentukan besaran pajak, royalti dan lainnya.
Kedua, merealisasikan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Ketiga, membangun industri hulu, termasuk di dalamnya industri semen, dan pembangkit listrik.
Saat ini, pemerintah hanya menerima royalti dari PT Freeport Indonesia rata-rata US$500 juta per tahun atau sekitar Rp5 triliun setahun. Total pendaatan Papua hanya sekitar Rp10 triliiun, sementara pemerintah pusat melalui APBN harus mengalokasikan dana hingga Rp35 triliun setiap tahun untuk pembangunan pulau itu.
Wapres JK tidak khawatir seandainya Freeport hengkang. Menurut dia, karyawan yang bekerja di Freeport mayoritas orang Indonesia. Ekspatriat atau karyawan asing hanya sekitar 1,5%. "Kita bisa mengelola," ujarnya.
IZIN EKSPOR KONSENTRAT
Sebelumnya, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan akan menagih janji Freeport Indonesia untuk pembangunan smelter tembaga katoda dan memberi batas waktu hingga hingga 25 April 2015.
Sukhyar mengatakan pihaknya akan melihat apakah Freeport sudah membayar uang jaminan (performance bond) ke pemilik lahan, yakni Petrogress. Selain itu, pihaknya juga akan melihat perencanaan perusahaan selama enam bulan tersebut.
“Kami minta selama tiga bulan ini sudah harus ada komitmen pembelian teknologi dari provider. Kalau tidak ada [komitmen] kami akan cabut dan menghentikan ekspor [konsentrat],” ujarnya, Rabu (28/1).
Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin sendiri dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR berjanji mempercepat proses pembahasan pembangunan smelter itu.
Rencana pembangunan smelter tembaga katoda di kompleks PT Petrokimia Gresik itu dipersoalkan oleh Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM yang berlangsung dari Selasa (27/1) malam hingga Rabu (28/1) dini hari, Komisi VII DPR mendesak Menteri ESDM Sudirman Said untuk meminta dengan tegas PT Freeport Indonesia segera membangun smelter sesuai dengan amanat Undang-Undang No.4/2009 tentang Mineral dan Batubara dengan memprioritaskan di Papua.
Namun, Sudirman berpendapat bila Freeport Indonesia dipaksa untuk membangun smelter di Papua, maka ada kemungkinan untuk molor lagi.
“Maka kami minta Freeport [bangun] di Gresik tapi kami sudah minta mereka [Freeport] bangun pabrik semen dan pembangkit di Papua,” katanya.
Maroef Sjamsoeddin juga berpendapat, pembangunan smelter di Papua tergantung sejumlah faktor, antara lain soal ketersediaan infrastruktur dan industri yang menampung produk sampingan hasil pemurnian. Dia mencontohkan asam sulfat yang merupakan bahan baku pupuk dapat diserap oleh PT Petrokimia Gresik.
“Berapa lama kami menunggu [ketersediaan infrastruktur dan industri hilir] kalau smelter dibangun di Papua. [Freeport] Bisa berhenti operasional. Saya minta waktu bertemu Muspida. Saya akan jelaskan kondisi ini,” ujarnya. (Lukas Hendra & Fauzul Muna berkontribusi atas tulisan ini)