Bisnis.com, PEKANBARU—Kalangan masyarakat petani dan masyarakat kehutanan di Indonesia belum banyak yang mengetahui mengenai Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang membatasi permukaan air gambut 0,4 meter sehingga implementasinya akan menyulitkan.
Seorang peneliti gambut tropis dari Universitas Riau Wawan mengemukakan aturan baru tersebut sulit diterapkan karena masyarakat belum banyak yang mengetahuinya. Apalagi masih ada dari isi dari aturan itu yang kontroversial.
"Tetapi perusahaan dirugikan dengan terbitnya PP Gambut. Ini karena rakyat tidak tahu saja. Bila rakyat tahu, dia juga dirugikan dengan adanya pembatasan muka air gambut 40 sentimeter," Wawan di Pekanbaru, seperti dikutip Antara (25/1).
Dia mengatakan sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengerti atas terbitnya PP Gambut dan dampaknya bagi mereka karena dalam peraturan tersebut telah mengunci permukaan air gambut, sehingga mengorbankan kepentingan petani dan pelaku usaha di lahan gambut.
PP Gambut merupakan warisan Susilo Bambang Yudhoyono di penghujung masa jabatan sebagai Presiden yang dinilai telah meresahkan berbagai kalangan karena peraturan itu tidak cocok bagi budi daya tanaman seperti kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Seperti diketahui, sekitar 46 persen atau 4,1 juta dari total luas daratan di Riau berjumlah 8,9 juta hektare merupakan lahan gambut. Sebagian besar kini sudah dimanfaatkan untuk budi daya tanaman dan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Saat ini sudah sekitar 1 juta hektare lahan gambut di Riau telah dimanfaatkan menjadi hutan tanaman industri, kemudian sebanyak 0,8 juta hektare untuk lahan kelapa sawit, lalu sekitar 0,5 juta hektare lahan pertanian dan perkebunan lainnya.
"Orang tanam sawit, tidak bisa 40 sentimeter. Dari mana teorinya?. Kemudian HTI, bisa 40 sentimeter?. Kan jadi jenuh air. Kalau jenuh air, maka oksigen berkurang, respirasi berkurang dan energi berkurang, sehingga pertumbuhan (tanaman) berkurang. Mau bagaimana," katanya.
Wawan yang menjabat Kepala Pusat Penelitian Gambut Tropis Universitas Riau mengatakan, tidak ada artinya kalau emisi tersebut rendah dengan produktivitas tanaman menjadi rendah karena masyarakat belum paham dengan emisi gas rumah kaca.
"Kan kalau produktivitas biomassa tinggi, artinya oksigen di udara di serap oleh tanaman kita. Di tambah produktivitas tinggi, berarti ekonomi kita semakin baik. Jadi pendekatan kita itu, bukan pendekatan lingkungan, tapi pendekatan berkelanjutan," ucapnya menerangkan.
Berdasarkan data terakhir tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Riau menyebutkan, luas areal lahan untuk perkebunan tanaman kelapa sawit di daerah itu berjumlah sekitar 2.372.401 hektare.