Bisnis.com, SURABAYA—Bank Indonesia Kantor Wilayah IV Jawa Timur bakal segera menerjunkan awaknya untuk menemui Organisasi Angkutan Darat di provinsi tersebut, guna menuntaskan tarik ulur penetapan tarif transportasi baru setelah penurunan harga bahan bakar minyak.
Pasalnya, hingga kini DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jatim masih enggan menurunkan tarif transportasi dalam kota dan antarkota, meski telah diterbitkan surat edaran Menteri Perhubungan No.1/2015 tentang instruksi penurunan tarif sebesar 5%.
Alhasil, Bank Indonesia (BI) Jatim terpaksa harus mengutus Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) untuk berdiskusi langsung dengan perwakilan Organda. Apalagi, tarif transportasi Jatim yang belum juga diturunkan dikhawatirkan akan membahayakan inflasi daerah.
“Kalau Organda tidak mau menurunkan tarif, TPID harus bertemu mereka. TPID harus berdiskusi langsung, karena [penundaan penurunan tarif angkutan] ini ada implikasi ekonomi dan politisnya,” kata Kakanwil BI Jatim Benny Siswanto ketika ditemui Bisnis, Rabu (21/1).
Benny menjelaskan sejak harga BBM diturunkan 19 Januari, mayoritas komponen administered price di Jatim sudah mulai melandai, tapi pergerakan core inflation dan volatile food masih cenderung rigid, tergantung kondisi masing-masing kabupaten/kota.
Dia juga mengatakan dalam satu hingga tiga bulan pascapenurunan harga BBM, harga telur dan daging ayam bakal tetap tinggi. Namun, di luar itu, komponen lain yang dikhawatirkan menjadi pemicu inflasi di Jatim tidak lain adalah tarif angkutan.
“Masalahnya tarif dalam kota lebih tinggi dari antarkota. Ini akan memengaruhi percepatan penurunan inflasi. Kami harus bicarakan dengan pemerintah daerah dan Dinas Perhubungan Jatim, karena ini tantangan yang harus cepat diselesaikan.”
Dia menggambarkan, pada saat harga BBM dinaikkan November 2014, kota yang paling terdampak inflasi tinggi akibat tarif angkutan adalah Malang dan Kediri. Inflasi di kedua kota itu masing-masing menembus lebih dari 30%.
Di Surabaya, angkanya mencapai 20,67% atau masih lebih rendah dari rerata provinsi pada level 26,7%. Dari pengalaman itu, Benny menilai isu tarif angkutan adalah faktor signifikan yang harus lebih diantisipasi saat ini, setelah harga BBM turun.
“TPID di Kediri dan di Malang akan berkoordinasi dengan pemerintah kota setempat, khususnya untuk membahas tarif [angkutan] dalam kota. Dalam waktu dekat, kami akan berkoordinasi di tingkat provinsi,” tegasnya.
Bagaimanapun, di tengah polemik penetapan tarif angkutan, BI Jatim masih optimistis target inflasi provinsi sebesar 4 plus minus 1 pada tahun ini akan tetap tercapai. Bahkan, dengan diturunkannya harga BBM, target itu diyakini bisa lebih cepat diraih.
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Jatim dikabarkan menghelat rapat koordinasi khusus membahas penentuan tarif baru angkutan umum hari ini (Kamis, 22/1). Menurut kabar yang beredar, besaran tarif baru itu akan diumumkan seusai rapat.
Rapat tersebut diikuti oleh perwakilan Organda dan 38 kepala Dishub seprovinsi. Hingga berita ini diturunkan, kepastian tarif Jatim masih menjadi perdebatan berbagai kalangan, karena bertahan pada tarif kenaikan 10% pascakenaikan harga BBM November lalu.
Terpisah, Ketua Organda Jatim Mustofa bersikeras pihaknya tidak akan menurunkan tarif angkutan, sebelum menerima surat keputusan resmi dari Menhub dan struktur harga barang di tingkat ritel atau eceran dibenahi pemerintah.
Ditambah lagi, diterbitkannya Pergub No.72/2014 tentang besaran upah minimum karyawan (UMK) Jatim antara Rp1,2 juta—Rp2,7 juta, turut menambah beban operasional angkutan umum sebesar 20%. Oleh sebab itu, dia mengklaim penurunan 5% tidak akan signifikan.
Berdasarkan pantauan Bisnis, mayoritas kabupaten/kota di Jatim belum menurunkan tarifnya. Namun, beberapa wilayah ada yang sudah berinisiatif menurunkan harga sesuai SK Menhub yang baru. Di Mojokerto, tarif angkutan sudah turun sekitar Rp1.000 menjadi Rp4.000.