Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman merekomendasikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerbitkan keputusan baru dalam rangka menyelesaikan maladministrasi yang disebabkan oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 463/Menhut-II tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan.
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan aturan baru tersebut dibutuhkan untuk menanggulangi permasalahan dalam pemanfaatan kawasan hutan yang tak sesuai peruntukannya di Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BKK).
"Menhut dan Kepala Badan Pertanahan telah melakukan maladiministrasi yang mengganggu kepastian investasi di wilayah tersebut sehingga dibutuhkan aturan baru," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (9/1/2015).
Dia menjelaskan atas SK tersebut BPN menolak permohonan penerbitan sertifikat hak guna bagunan di atas tanah yang diperbolehkan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selain itu karena aturan itu, banyak perencanaan tata ruang yang tumpang tindih, seperti Kawasan Batam Center dan Batu Aji yang diklaim menjadi areal hutan padahal di lokasi tersebut telah berdiri kantor pemerintahan, perumahan, dan sebagainya.
"Oleh karena itu peraturan harus kembali ke Perpres No. 87/2011 tentang RTRW BKK dan sebelum ada aturan baru berpegang pada peraturan tersebut," ujar Danang.
Sesuai Pasal 38 UU No. 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, rekomendasi Ombudsman wajib dilaksanakan dan melaporkan pelaksanaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi tersebut.
SK yang dinilai menyalahi pelayanan publik tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan, sekaligus melemahkan citra positif Indonesia, khususnya wilayah BBK, sebagai daerah tujuan investasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, timbul dampak sosial yang tidak kondusif di Batam. Sesuai dengan data BP Batam, penerbitan SK Menhut No. 463/Menhut-II/2013 membuat sekitar 22.000 rumah dan 49 galangan kapal di Batam tiba-tiba berada di lokasi hutan (ilegal). Padahal rumah-rumah penduduk dan galangan kapal tersebut sebelumnya telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah.