Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Michael Spence: Proyeksi Terlalu Optimistik Justru Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Pola koreksi pertumbuhan ekonomi yang dianut sejumlah pemerintah, bank sentral dan institusi keuangan internasional akibat proyeksi yang terlalu optimistik dinilai justru dapat melukai sistem finansial dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan sebanyak tiga kali dari angka APBN induk 2014 di level 6%. /bisnis.com
Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan sebanyak tiga kali dari angka APBN induk 2014 di level 6%. /bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Pola koreksi pertumbuhan ekonomi yang dianut sejumlah pemerintah, bank sentral dan institusi keuangan internasional akibat proyeksi yang terlalu optimistik dinilai justru dapat melukai sistem finansial dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Michael Spence, ekonom peraih Nobel pada 2001 bersama Joseph Stiglitz, menyatakan proyeksi yang terlalu optimistik dapat menghambat langkah-langkah yang justru diperlukan untuk mendorong pertumbuhan.

Dalam artikel Five Reasons for Slow Growth yang dirilis di Project Syndicate, sebuah proyek gabungan lebih dari 500 media di 154 negara, Spence menegaskan optimisme berlebihan bisa menghalangi optimalisasi pemulihan ekonomi.

"Sebelum melansir proyeksi, lembaga pemerintah dan instusi internasional tersebut semestinya berangkat dari pertanyaan: bagian mana dari sistem ekonomi sebuah negara atau dunia yang keliru dan perlu diperbaiki," ungkapnya.

Sepanjang tahun lalu, Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan sebanyak tiga kali dari angka APBN induk 2014 di level 6%.

Estimasi terakhir berada di level 5,1% setelah pemerintah Joko Widodo mengumumkan pengurangan subsidi BBM pada 18 November 2014 (Bisnis, 31/12/2014).

Spence mengidentifikasi sedikitnya ada 5 faktor kenapa proyeksi pertumbuhan yang dilansir pada akhir tahun sebelumnya atau awal tahun berjalan nyaris selalu harus terpangkas.

Pertama, kekeliruan mengestimasi kapasitas intervensi fiskal sebuah negara. Penghitungan tradisional yakni membandingkan utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah waktunya diganti dengan taksiran neraca keuangan secara agregat.

Pasalnya, metode tradisional tersebut menghilangkan asumsi bahwa investasi sektor publik yang produktif dapat bergerak dinamis. Belanja pemerintah untuk infrastruktur, pendidikan dan teknologi, bisa mendorong daya saing, inovasi, perluasan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan imbal hasil investasi sektor swasta.

Kedua, ujar Spence, adalah dampak turunan (multipliers effect) intervensi fiskal pemerintah tersebut jarang diperhitungkan sebagai komponen penyusunan proyeksi pertumbuhan.

Di sisi lain, dalam kertas kerja International Monetary Fund (IMF) bertajuk Growth Forecast Errors and Fiscal Multipliers yang dilansir akhir Januari 2013, Olivier Blanchard and Daniel Leigh menegaskan pemaparan Spence.

Blanchard dan Leigh menjabarkan intervensi fiskal akan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, dan dengan diiringi oleh fleksibilitas struktural, maka akan bermuara pada meluasnya dampak turunan belanja fiskal pemerintah.

Ketiga, kian lebarnya disparitas antara perilaku pasar finansial dan ekonomi riil.

Spence menyebutkan penilaian pertumbuhan pasar finansial yang dihitung berdasarkan harga aset bisa saja tidak berdampak terhadap
sektor riil atau pertumbuhan ekonomi.

Dia menuduh kontributor utama disparitas itu adalah kebijakan moneter yang ultra-longgar sehingga membanjiri pasar finansial dengan likuiditas. Tujuannya, lanjut Spence, memang mendorong pertumbuhan.

Namun, ekonom asal Harvard University ini menegaskan hingga 6 tahun sejak krisis finansial masih belum jelas seberapa besar kenaikan harga aset mampu mendorong permintaan agregat dan membantu distribusi kekayaan secara luas.

Berikutnya adalah kualitas pemerintah. Tata kelola pemerintah, papar Spence, yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan dengan mengisi pos-pos penting pemerintahan dengan kerabat atau orang dekat (nepotisme) menghambat efek regulasi, belanja fiskal, layanan publik dan pertumbuhan.

Terakhir, Spence menuturkan besaran dan durasi merosotnya permintaan agregat pascakrisis 2008 jauh lebih parah ketimbang yang diperkirakan.

Dia menambahkan terpuruknya permintaan agregat diakibatkan oleh lapangan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga masih tersumbat.

Dalam konteks global, dia mengungkapkan 75% rumah tangga mengalami stagnasi pendapatan karena ketimpangan kian melebar, khususnya di negara yang memiliki kualitas dan kuantitas pendidikan buruk.

"Tentu ini bukan kondisis permanen. Namun masa transisi akan panjang dan kompleks," tegas Spence.

Negara, lanjutnya, harus mengutamakan investasi di area-area kunci, yaitu pendidikan, layanan kesehatan dan infrastruktur


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arys Aditya
Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper