Bisnis.com, JAKARTA: Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok meminta stakeholders dan seluruh entitas bisnis di pelabuhan untuk mengedepankan kepentingan nasional yakni percepatan arus barang dan menekan ongkos logistik.
Kepala OP Tanjung Priok, Wahyu Widayat mengatakan, tidak boleh ada ego sektoral dalam kegiatan layanan di pelabuhan dalam bentuk apapun.
"Semangatnya, semua pihak mesti mengedepankan kelancaran arus barang di pelabuhan," ujarnya kepada Bisnis, Senin (15/12/2014).
Dia mengatakan hal itu terkait adanya dualisme aktivitas inspeksi fisik barang impor yang wajib dilakukan pemeriksaan karantina di Pelabuhan Tanjung Priok.
"Besok, Selasa (16/12) sudah ada langkah kesepakatan dengan semua stakeholders di Priok soal pemeriksaan wajib karantina itu," paparnya.
Wahyu juga mengatakan, akhir pekan lalu instansi sudah mengumpulkan semua instansi terkait dan asosiasi pelaku usaha untuk membahas penanganan kegiatan pemeriksaan barang impor yang wajib karantina di Pelabuhan Priok.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto mengatakan, pelaku usaha logistik mendesak dua instansi yakni Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian melepas ego sektroralnya, dan segera turun tangan untuk membuat standar dan prosedur baku terhadap kegiatan inspeksi impor barang melalui pelabuhan yang wajib periksa karantina.
Widijanto mengatakan, di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini terjadi dualisme penanganan/proses impor barang wajib karantina, sehingga beban biaya logistik melambung.
Dualisme itu, kata Widijanto, di sisi lain pihak Balai Besar Karantina Kementan Pelabuhan Tanjung Priok menginginkan pemeriksaan karantina dilakukan di depan atau sebelum barang selesai kewajiban pabeannya (clearance).
Sedangkan Instansi Bea dan Cukai Pelabuhan Priok mengizinkan barang impor diperiksa karantina setelah clearance atau sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) sesuai dengan aturan kepabeanan yang berlaku.
Widijanto mengatakan, asosiasinya menerima keluhan sejumlah forwarder di pelabuhan Priok yang mengungkapkan persoalan ini mencuat menyusul adanya edaran Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu bahwa terhitung 10 Desember 2014 kegiatan pemeriksaan fisik barang karantina di tempat pemeriksaan fisik terpadu (TPFT) Pelabuhan Tanjung Priok mengacu pada aturan pindah lokasi penumpukan (PLP) dari terminal peti kemas asal ke TPFT.
"Kalau perpindahan barang wajib karantina dari terminal peti kemas asal ke TPFT menggunakan aturan PLP bisa menambah ongkos logistik di pelabuhan. Hal ini juga berdampak tidak optimalnya fungsi TPFT di pelabuhan,” ujarnya.
Dia mengatakan, saat ini terdapat dua lokasi TPFT di Pelabuhan Tanjung Priok yakni TPFT CDC Banda yang di operasikan Multi Terminal Indonesia dan TPFT Graha Segara.
Fungsi kedua TPFT itu yakni joint inspection antara petugas Bea dan Cukai dan petugas Karantina terhadap barang impor yang dicurigai membawa virus penyakit, serta untuk menekan ongkos logistik dan kelancaran arus barang di pelabuhan.
“Kalau pakai mekanisme PLP yang tertuang dalam aturan pabean, ya barang harus sudah clearance atau SPPB terlebih dahulu baru bisa direlokasi ke TPFT,” ujarnya.
Widijanto mengatakan, volume barang wajib periksa karantina melalui Pelabuhan Priok setiap harinya cukup tinggi yakni sekitar 250-300 peti kemas.
“Sesuai aturan internasional inspeksi karantina dilakukan di depan sebelum barang clearance,” paparnya.
Karena itu, ALFI mendesak Kemenkeu dan Kementan melepaskan ego sektoralnya untuk tidak berebut siapa yang paling berwenang terlebih dahulu melakukan inspeksi barang impor.
Sebab, imbuhnya, akibat ego sektoral kedua instansi itu, iklim bisnis di pelabuhan menjadi tidak kondusif dan tentunya berdampak pada biaya logistik.