Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meyakini bisnis pada tahun depan tidak kalah beratnya dibandingkan dengan 2014, bahkan pertumbuhan ekspor diperkirakan tak lebih dari 1%.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan sejak 2011 target pertumbuhan ekspor 5% tidak pernah tercapai.
Realisasi pertumbuhan hanya di kisaran satu persen, bahkan sekarang di level nol koma sekian persen.
"Pada 2015 berat karena berbagai keadaan, pelemahan pasar AS dan resesi Jepang. Industri di dalam negeri juga terimplikasi efek negatif bukan hanya karena kenaikan harga BBM subsidi, tetapi karena mereka punya prioritas," katanya, Sabtu (13/12/2014).
Skala prioritas itu membuat masyarakat menomorduakan pemenuhan kebutuhan barang tekstil di tengah pelemahan daya beli. Produk TPT seperti pakaian tergolong keperluan sekunder, sedangkan yang diutamakan masyarakat tentu kebutuhan primer seperti makanan.
Menurutnya, pelambatan bisnis tekstil juga terpengaruh banyaknya arus impor barang yang menguasai 40% pasar domestik. Sementara produk tekstil buatan dalam negeri kalah saing lantaran harganya lebih mahal.
Salah satu penyebab lemahnya bisnis di dalam negeri adalah perubahan status kapas dari barang tidak kena pajak menjadi barang kena pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%.
"Persentase ini memang tidak besar tetapi karena dikenakan kepada sektor hulu maka akan menghasilkan efek bola salju ke hilir yang dikompensasikan melalui kenaikan harga jual," ujarnya.