Bisnis.com, PEKANBARU -- Moratorium izin pengelolaan kawasan hutan dianggap tidak efektif mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), karena membuka peluang perambah masuk dan mengelola kawasan itu secara ilegal.
Nana Suparna, Ketua Bidang Hutan Tanaman Industri Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), mengatakan moratorium izin pengelolaan hutan membuat kawasan tersebut terbengkalai dan tidak ada yang mengawasi.
Hal tersebut membuat perambah lebih leluasa melakukan pembalakan liar dan pembakaran untuk penyiapan lahan.
“Sekitar 34% titik api pada kebakaran hutan ada di kawasan yang tidak terawasi dan tidak ada yang mengelolanya. Ini menunjukkan moratorium izin pengelolaan kawasan hutan tidak efektif mencegah karhutla,” kata Nana di Pekanbaru, Selasa (25/11/2014).
Nana menuturkan saat ini ada sekitar 32,21 juta hektare hutan lindung dan 31,6 juta hektare hutan produksi yang tidak terawasi, karena tidak ada pengelolanya.
Pemerintah harus membentuk unit khusus yang mengelola dan mengawasi lahan tersebut, agar masyarakat tidak membakarnya untuk keperluan pertanian.
Menurutnya, Undang-Undang No. 32/2009 harus segera direvisi, karena masih membuka peluang pembakaran hutan untuk perkebunan.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus menyiapkan teknologi dan bantuan agar masyarakat dapat membuka lahan tanpa harus membakar kawasan hutan.
“Bisa saja pemerintah menyediakan lahan yang siap digarap, sehingga masyarakat tidak lagi perlu masuk ke hutan dan membakarnya,” ujar Nana.
Sementara itu, Suwardi, Sekretaris Jenderal Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, mengatakan pengelolaan kawasan hutan dan gambut harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Akademisi Institut Pertanian Bogor itu menilai pengelolaan hutan dan lahan gambut secara tepat akan memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah melalui devisa.
Dengan begitu, perekonomian masyarakat di daerah dapat ikut tumbuh seiring dengan pengelolaan kawasan hutan dan lahan gambut yang baik.
“Lahan gambut tidak haram untuk dikelola untuk kepentingan ekonomi masyarakat, selama dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial,” katanya.
Suwardi menuturkan pengelolaan lahan gambut di dalam negeri sudah dimulai sejak abad 19 oleh penduduk lokal di Kalimantan dan Sumatra untuk tanaman padi dan kelapa.
Kemudian terus berkembang pada masa orde baru yang mereklamasi lahan gambut untuk padi sawah melalui proyek transmigrasi.
Menurutnya, pemerintah harus memetakan lahan gambut di seluruh Indonesia untuk dibagi menjadi kawasan konservasi, dan wilayah yang dikelola sebagai lahan untuk pengembangan pertanian.
Dari total 14,9 juta hektare lahan gambut yang ada di Indonesia, 6 juta hektare di antaranya telah dibuka untuk berbagai keperluan. Sayangnya, sekitar 3,5 juta hektare dari lahan gambut yang sudah dibuka saat ini mengalami kerusakan, karena kesalahan tata kelola.
Kerusakan lahan gambut terbesar terjadi di Kalimantan Tengah dengan luas mencapai 1 juta hektare, karena proyek reklamasi lahan untuk padi sawah yang gagal.
Lahan gambut di Riau sendiri mencapai 4,1 juta hektare yang sebagian besar termasuk ke dalam kategori gambut dalam.
Lahan gambut di Sumatra juga lebih subur dibandingkan dengan lahan gambut di Kalimantan dan Papua, karena masih terdapat tanah mineral di bawahnya.