Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan petani tembakau menilai pengenaan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 8,72% pada tahun depan akan berdampak pada rendahnya permintaan tembakau di tingkat hulu.
Sekjen Dewan Pemimpin Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Budidoyo mengatakan kebijakan di sektor hilir yang baru saja ditetapkan Kementerian Keuangan tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi hulu secara tidak langsung.
“Cukai ini memang di tingkat konsumen. Tapi bisa membuat tingkat konsumsi jadi rendah, otomatis penggunaan bahan baku kan akan berkurang, sehingga permintaan nantinya juga akan berkurang, “ katanya saat dihubungi Bisnis, (20/10/2014).
Menurutnya, dampak adanya kebijakan itu secara nyata baru akan terlihat seiring berjalanannya waktu. Dia berasumsi konsumen dapat mengurangi pemakaian rokok atau malah mengganti merek rokoknya dengan harga yang lebih murah.
“Yang jelas ini kan satu kesatuan, ketika ada kebijakan atau regulasi di hilir, maka hulu akan kena dampaknya. Tapi ini coba dibahas dan dikomunikasikan efeknya agar tidak terlalu besar terhadap industri ini,” katanya.
Disisi lain, petani tembakau juga dihadapkan pada rencana penerapan pajak tembakau global oleh negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Budidoyo berharap pemerintahan baru tidak mengaksesi atau meratifikasi kebijakan tersebut karena akan semakin merugikan petani tembakau. Pasalnya, pertemuan yang digagas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu tersebut mewacanakan pemberlakuan pajak cukai senilai 70% dari harga jual produk.
“Prinsipnya kami menolak ratifikasi atau FCTC karena akan membunuh mata pencaharian kami selaku petani dan tentunya industri hasil tembakau,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu memberikan perlakuan khusus berbentuk insentif untuk melindungi industri kretek tanah air karena ditakutkan rokok produk asli budaya Indonesia tersebut menjadi punah.