Bisnis.com, JAKARTA - Pemangkasan subsidi BBM tak bisa dipungkiri menjadi hal yang dinanti untuk mengobati fundamental perekonomian dalam negeri. Namun, langkah itu dinilai belum cukup mujarab, bahkan tak berefek apapun di sisa tahun ini.
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menegaskan pengurangan subsidi adalah langkah pertama yang harus ditempuh demi mempersempit defisit neraca transaksi berjalan.
"Kalau harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan, dampaknya hampir tidak terlihat di neraca pembayaran karena akhir tahun," kata Darmin, Kamis (16/10/2014).
Pasalnya, sambung Darmin, kenaikan harga BBM takkan serta merta memangkas impor. Paling tidak dibutuhkan waktu 2-3 bulan sampai masyarakat mengerem penggunaan BBM-nya karena harga yang lebih tinggi.
Alhasil, pengaruhnya terhadap neraca pembayaran baru bisa dilihat pada tahun depan. Darmin memproyeksikan defisit transaksi berjalan masih di kisaran 3% produk domestik bruto (PDB) hingga akhir tahun ini.
Hingga kuartal II/2014 defisit transaksi berjalan masih berkutat di level 4,47% terhadap PDB atau setara dengan US$9,1 miliar. Adapun pada 2013, defisit tercatat sebesar 3,26% PDB.
Bahkan sebenarnya, dalam kacamata Darmin, saat ini bukanlah momentum yang tepat untuk memangkas subsidi mengingat perlambatan ekonomi dan tekanan dari perekonomian global.
"Walau tidak tepat, kita tidak bisa menghindari. Yang harus dilakukan adalah mencari titik optimum kenaikan supaya jangan memukul balik," ungkapnya.
Mantan Kepala Bapepam-LK itu juga mengungkapkan pemerintah harus cermat menyusun skema terkait subsidi BBM. Dalam 5 tahun, katanya, pemangkasan subsidi harus berkisar 85% dengan besaran pemangkasan 20%-25% pada tiap kenaikan.
Saat ini, rerata harga BBM adalah Rp6.500 per liter. Belakangan ramai diberitakan Joko Widodo-Jusuf Kalla hendak segera menaikkan harga Rp3.000 per liter.
Selain pemangkasan subsidi, langkah kedua adalah reformasi birokrasi terutama terkait modernisasi pajak. "Kalau penerimaan terlalu rendah pinjamannya juga pasti banyak," ungkap Darmin, yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan.
Pemerintah akan membutuhkan semakin banyak pinjaman untuk menutup defisit jika penerimaan negara tak bisa memenuhinya. Akibatnya akun pemasukan pada transaksi berjalan menjadi negatif karena kebutuhan untuk membayar bunga, imbal hasil obligasi, dan instrumen keuangan lain yang ditempuh pemerintah untuk mencari dana.
Dalam paparannya, Darmin mencatatkan rerata defisit akun finansial mencapai minus US$25 miliar ke atas. Maka semakin besar penerimaan negara, defisit pada bagian ini bisa kian diminimalisasi.
Ketiga, memperkuat posisi cadangan devisa. Meski tak mempengaruhi neraca perdagangan secara langsung, Darmin mengatakan cadangan devisa yang kuat bisa membantu menopang nilai tukar.
Terkait hal ini, langkah selanjutnya, pemerintah harus mengupayakan agar uang warga negara Indonesia harus dikembalikan dan disimpan di dalam negeri, termasuk dengan memberi insentif. Posisi terakhir, BI mencatat cadangan devisa per akhir September di level US$111,16 miliar, relatif stagnan dibandingkan dengan posisi di akhir bulan sebelumnya.
Langkah kelima, adalah perubahan struktural, terutama terkait intensifikasi produksi dan industri pangan serta pembangunan industri bahan baku untuk meminimalisasi importasi. Pasalnya saat ini porsi impor terbesar, sekitar 70%, diambil oleh bahan baku.