Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pengelola REDD+ Republik Indonesia akan meluncurkan program nasional untuk mengakui dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PIU/2012.
Deputi Bidang Operasional BP REDD+ William Subandar mengatakan selama ini terjadi tumpang tindih dan disharmonisasi berbagai kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang menyulitkan partisipasi masyarakat hukum adat (MHA) dalam mengelola areal hutan.
“Hak-hak kolektif MHA yang telah terjadi selama puluhan tersebut akan diperjuangkan dalam program nasional ini, karena selama ini belum ada Undang-Undang yang spesifik mengenai hak-hak MHA ataupun upaya pendataan MHA secara terlembaga,”katanya di Kantor REDD+, Kamis (28/8/2014).
Seperti yang diketahui, peraturan perundang-udangan yang tumpang tindih mengatur mengenai MHA antara lain : UU Perkebunan, UU Pertambangan, UU Pengadaan Tanah, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, RPP Hutan Adat, Permenhut REDD dan PP Tambang di Hutan Lindung.
Salah satu sasaran program ini, William menjelaskan, adalah dengan terwujudnya reformasi hukum dan kelembagaan negara/pemerintah terkait hak-hak MHA atas tanah, wilayah dan sumber daya alam.
Seperti bentuk pengakuan hukum hak kolektif atas tanah, hak territorial dan pemerintahan adat/otonomi asli komunitas adat, revitalisasi dan pembaruan tradisi dan pranata adat terkait tanah dan sumberdaya alam, negosiasi berbasis FPIC/Padiatapa dengan pemerintah dan pihak swasta.
Nantinya, program nasional yang akan diluncurkan pada 1 September ini juga menggandeng beberapa Kementerian dan lembaga yang terkait dengan MHA yaitu, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Kehutanan.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertahanan Nasional, Badan Informasi Geospatial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta UKP4.