Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Sarung Tangan Karet Indonesia (ASTA) menyatakan keputusan pengenaan kembali pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk pertanian membuat daya saing produk anggota asosiasinya semakin melemah.
Mahkamah Agung melalui Keputusan MA Nomor 70 Tahun 2014 memutuskan untuk membatalkan sebagian pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. Alhasil, produk pertanian kembali dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%.
Ketua Umum ASTA Ahmad Saifun mengatakan dengan adanya PPN ini, biaya produksi dari bahan baku mencapai 60% sehingga dampak penambahan biaya berpengaruh signifikan terhadap harga jual.
“Bagaimana bisa bersaing kalau begini, kalau terus begini tidak salah kalau tujuh pabrik yang tersisa gulung tikar. Semua kaget, industri sarung tangan itu ditimpa gas, biaya listrik dan sekarang PPB,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (25/8/2014).
Menilik kinerja semester I/2014, produksi sarung karet nasional melorot 5% dibandingkan dengan tahun lalu yang besarnya mencapai 6 miliar pasang, sedangkan untuk target produksi 2014 mencapai 12 miliar pasang sama seperti tahun lalu.
Saifun mengatakan dalam beberapa tahun ke depan bukan tidak mungkin kinerja industri di Indonesia ini akan disalip oleh Vietnam dan Myanmar yang industri karetnya sudah mulai bertumbuh.
Dirinya mengatakan walaupun Indonesia sebagai negara penghasil karet yang besar di dunia tetapi keberpihakannya pada pengembangan industrinya tidak terlihat.
“Padahal industri sarung tangan ini mampu menyerap karet alam hingga 97%. Itu sangat baik, harus didukung. Tetapi dukungannya tidak terlihat, misalnya saja pengenai pengiriman bahan baku, jika dari Jakarta ongkosnya Rp14 juta per kontainer sedangkan dari Bangkok hanya Rp7 juta,” katanya.