Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mungkinkah Indonesia Menjadi Negara Industri? Ini Kendala yang Harus Diatasi

Pemerintah bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju di dunia. Untuk mencapai level itu maka sektor industri harus mampu menjadi tulang punggung perekonomian. Kapan Indonesia mampu merealisasikan mimpi ini?
  Aktivitas di sebuah pabrik kendaraan bermotor. /Bisnis.com
Aktivitas di sebuah pabrik kendaraan bermotor. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA-- Pemerintah bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju di dunia. Untuk mencapai level itu maka sektor industri harus mampu menjadi tulang punggung perekonomian. Kapan Indonesia mampu merealisasikan mimpi ini?

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai kinerja industri pengolahan nonmigas kerap terbentur dengan permasalahan di sektor lain, seperti pasokan energi, tenaga kerja, dan infrastruktur. Selain itu proses permohonan pengusaha atas kelonggaran fiskal kerap kali berbelit-belit.

Dengan kata lain, ego sektoral antarkementerian kerap menghambat perkembangan industri di dalam negeri. Manakala Kementerian Perindustrian merekomendasikan pemberian rangsangan fiskal tetapi Kementerian Keuangan bisa jadi tak sependapat.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat berpendapat pemerintahan pada kabinet mendatang perlu membuat paket kebijakan dengan salah satu fokus utama mendorong pertumbuhan industri. Pasalnya manakala industri lemah tetapi perdagangan  kuat, ini justru mengindikasikan tingginya impor.

“Untuk menuju negara industri yang kuat pada 2025 harus dimulai sejak sekarang. Kalau industri melemah tapi trading kuat artinya semua mengimpor bahan baku,” katanya, akhir pekan lalu.

Saat industri menjadi tulang punggung artinya kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) sedikitnya di kisaran 40%. Level itu tentu saja tidak bisa dicapai dalam jentikan jari melainkan butuh waktu hingga sekian tahun.

Kemenperin menyatakan kontribusi sebesar 40% ke PDB merupakan level ideal bagi negara maju. Kenyataannya sumbangsih industri sekarang masih di bawah 25%. Untuk mencapai 40% maka berbagai hambatan yang meredam geliat industri harus diatasi.

“Jangan sampai ada investor mau bikin pabrik semen tetapi sampai power plant dan tower saja masih harus membangun sendiri, sedangkan di negara lain sudah difasilitasi,” tutur Hidayat.

Kemenperin memproyeksikan Indonesia bisa disebut negara industri  paling cepat dalam 15 tahun ke depan. Sejalan dengan itu benang kusut di sektor lain yang terkait harus dibenahi terutama mekanisme perizinan, ketenagakerjaan, pasokan energi, dan insentif fiskal.

“Semua obstacle harus dihilangkan. Kalau industri tidak tumbuh tetapi sektor jasa ada, maka yang didagangkan di dalam negeri nanti adalah barang impor,” ucap Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Agus Tjahajana.

 

Hambatan Birokrasi

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan panjangnya proses birokrasi perizinan memang menjadi salah satu minus RI di mata investor. Hal ini menjadi salah satu komponen yang menambah biaya produksi.

“Jika perizinan bisa dipangkas maka bisa lebih bersaing. Perizinan sebenarnya sifatnya hanya one time saja. Kalau kita lebih murah menjadi lebih efisien jadi dampaknya langsung ke daya saing,” ucapnya.

Lantas bisakah industri di dalam negeri mencapai kontribusi 40% terhadap PDB?

Sejauh ini Kemenperin optimistis sektor industri mampu memberi kontribusi sebesar 40% dalam 15 tahun ke depan. Untuk mencapai persentase ini maka setiap tahun porsi di dalam PDB harus meningkat sedikitnya 1%.

Sekretaris Jenderal Kemenperin Ansari Bukhari menyatakan peningkatan kontribusi industri sepersen setiap tahun terhadap PDB bisa terealisasi jika industri sendiri mencapai pertumbuhan 8% - 9% per tahun.

“Pada saat itu [industri tumbuh 8% - 9% per tahun] perekonomian nasional tumbuh sekitar 7%. Pada 2035 kami proyeksikan pertumbuhan industri sudah mencapai digit ganda,” ujarnya.

Dengan asumsi pertumbuhan mencapai 9% per tahun maka paling lambat dalam 20 tahun mendatang, 40% PDB berasal dari industri. Nampaknya target ini masih begitu jauh di depan mana. Pasalnya pada tahun ini saja pertumbuhan diperkirakan kurang dari 6% dan pada tahun depan baru 6%.

Selayaknya pertumbuhan industri jalan beriringan dengan peningkatan daya saing produk. Kenyataannya untuk skala Asean saja, daya saing produk industri manufaktur domestik baru 31,26%.

Adapun sektor lain yang terbilang berdaya saing kuat a.l kelompok industri tekstil dan produk tekstil, kelompok industri alas kaki, kulit, dan barang kulit, industri pupuk dan petrokimia, dan kelompok industri logam dasar, besi, dan baja.

Di industri manufaktur terdapat 3.998 pos tarif terdiri dari berbagai sektor industri. Adapun yang pos tarif yang dinyatakan mampu berkompetisi di Asia Tenggara sektiar 1.250 atau 31,26%. Sekitar 2,748 pos tarif atau 68,73% lainnya termasuk kategori rendah dan sangat rendah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dini Hariyanti
Editor : Setyardi Widodo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper