Bisnis.com, TANGERANG—Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) meminta pemerintah untuk membebaskan petani menggunakan varian benih hasil penelitian sendiri, karena hal ini terbukti meningkatkan pendapatan petani hingga 50%.
Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia mengatakan kualitas benih padi yang dihasilkan oleh petani secara mandiri meskipun belum mendapatkan sertifikasi terbukti jauh lebih baik ketimbang kualitas benih yang dihasilkan oleh pemerintah.
“Ketika petani menjadi pelaku pemuliaan tanaman, hibridasi dan penjual pangan mandiri , itu akan memberikan kesejahteraan kepada petani,” ujarnya di Tangerang Selatan, Selasa (19/8/2014).
Namun begitu, adanya Undang-undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang mengatur secara ketat peredaran benih, plasma nutfah dan lainnya telah menghambat pekembangan dunia pertanian Indonesia.
Dwi beranggapan undang-undang tersebut merupakan suatu kesalahan besar dalam dunia pertanian. Undang-undang mengatur benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sehingga, bagi siapapun yang mengedarkan benih bina tanpa sertifikat akan dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp150 juta. Sementara bagi pihak yang mengumpulkan plasma nutfah tanpa izin akan dipidana kurungan paling lama 12 bulan dan denda paling tinggi Rp50 juta.
Padahal, tuturnya, untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, petani harus memiliki hak memuliakan tanaman, memiliki hak mendapatkan plasma nutfah untuk pemuliaan tanaman, memiliki hak memperbanyak benih dan terakhir memiliki hak menjual benih.
Jika keempat faktor tersebut terealisasi, tidak hanya ketahanan pangan, namun, kedaulatan petani Indonesia juga akan terwujud. Dalam hal peredaran benih dan plasma nutfah, undang-undang hanya memperbolehkan dilakukan sistem tukar-menukar.
Dia mencontohkan, petani binaannya yang menjual benih hasil penelitian dan belum bersertifikat akhirnya dipenjara selama tujuh bulan. Padahal untuk menempuh proses sertifikasi, satu sertifikasi harus melakukan uji multilokasi di 20 tempat dalam dua musim .
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan pengalaman lembaganya untuk uji di satu lokasi diperlukan biaya hingga Rp10 juta. Dengan begitu, biaya yang dibutuhkan untuk uji di 20 lokasi sekitar Rp200 juta dalam satu musim dan menjadi Rp400 juta untuk dua musim.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (UNILA) Bustanul Arifin mengatakan dalam 10 tahun terakhir, pemerintah Indonesia hanya fokus pada target swasembada pangan.
Padahal, lanjutnya, terdapat tiga permasalahan mendasar pada pertanian Indonesia a.l ketersediaan, aksesibilitas dan kualitas. Karena pemerintah, tuturnya, sangat fokus pada ketersediaan pangan, akhirnya melupakan dua permasalahan lainnya.
“Jika begini terus, permasalahan pangan Indonesia tidak akan pernah terselesaikan,” ujarnya.
Menurut Dwi, sejak tahun 1960-an petani tradisional Indonesia telah mengembangkan 1,9 juta varietas tanaman, sementara industri benih swasta hanya 72.500 varietas tanaman. Bahkan pemuliaan tanaman di lembaga-lembaga riset publik hanya menghasilkan sekitar 8.000 varietas baru.
Tingginya produktivitas petani lokal dalam mengembangkan benih unggulan juga diakui oleh Bambang Budhianto, Direktur Perbenihan Tanaman Pangan pada Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan.
Dia mengatakan dari total 14 juta hektare tanaman padi yang ditanam tiap tahun dan membutuhkan 350.000 ton benih, 52% merupakan benih non-sertifikat dan 48% lainnya bersertifikat atau dari produsen benih.
Selain itu, lanjutnya, sekitar 90% varietas yang digunakan petani adalah ciptaan pemulia tanaman lembaga pemerintah, 7% adalah varietas lokal dan sisanya hasil produksi produsen swasta yang menghasilkan padi hibrida.