Bisnis.com,JAKARTA – Kalangan petani kakao menilai pemerintah sebaiknya fokus untuk meningkatkan produktivitas dalam negeri dibandingkan terus berkutat pada pembebasan bea masuk kakao impor.
Ketua Asosiasi Kakao Indonesia Arief Zamroni mengatakan industri kakao tanah air belum masuk dalam tahap “emergency” sehingga harus membebaskan bea masuk impor.
“Belum terlalu signifikan menyelamatkan. Saya justru khawatir nol ini akan membuat produksi kakao dalam negeri jadi terpuruk,”katanya saat dihubungi Bisnis, (3/8/2014).
Dia mengatakan pemerintah lebih baik memperhatikan produktivitas nasional secara serius, seperti intensifikasi, revitalisasi dan replanting yang lebih masif dari sebelumnya. Terlebih, komoditas ini tercatat sebagai penghasil terbesar ketiga dunia setelah Ghana dan Pantai Gading.
“Sekarang sedang menuju ke arah sana, tetapi belum masif. Butuh lompatan cukup besar dalam peningkatan produksi di Indonesia, terlebih kebutuhan kakao dunia sedang naik menjadi 2%-4%, potensi yang kita punya harus dimanfaatkan maksimal, jangan ciptakan sebaliknya,” jelasnya.
Dengan kondisi seperti ini, Arief yakin Indonesia tidak akan kekurangan stok kakao, namun sebaiknya juga memberikan kebutuhan pasar dunia dengan pengembangan produksi kakao yang lebih baik. Sehingga, dia berpendapat diperlukan mapping kembali di setiap wilayah untuk pemanfaatan kakao pada pemerintahan baru.
“Walaupun produksi di Jawa tidak sebesar Sumatra dan Sulawesi, namun tetap tidak bisa diabaikan. Ke depannya, perlu mapping di setiap wilayah di Indonesia untuk mengetahui apakah kebijakan replanting sudah ditemani dengan pengamanan yang baik sehingga kakao kita bisa maksimal,” ujarnya.
Ditambah, cuaca buruk sudah tidak lagi menghantui petani Kakao mulai Juli ini. “Kami masih yakin produksi 650.000 ton meskipun cuaca membuat musim panen mundur jadi Agustus-September. Kini sudah ada laporan peningkatan di setiap daerah,” katanya.
Berdasarkan catatan Bisnis, pemerintah mengklaim produksi kakao mencapai lebih dari 930.000 ton pada tahun lalu. Angka tersebut berbeda jauh dengan asosiasi industri yang menyatakan hanya setengahnya, yaitu sekitar 450.000 ton, sementara petani berada di titik moderat di kisaran 650.000 ton.