KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP (KLH) dalam laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2012, menunjukkan bahkan selain karbon dioksida, terdapat unsur pencemar udara lainnya.
Ini dikenal dengan particulate matter (PM), yaitu campuran kompleks partikel padat dan cair berbahan organik dan anorganik, yang tersuspensi ke udara. Dan meningkatnya penggunaan mobil pribadi serta bus, juga meningkatkan letusan partikel pencemar tersebut.
“Transportasi menjadi salah satu sektor yang paling banyak meng gunakan bahan bakar fosil,” ujar Henry Bastaman, Deputi VII Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan Peningkatan Kapasitas pada KLH. “Dominasi pemakaian bahan bakar fosil, berpengaruh besar terhadap kualitas udara, terutama di metropolitan dan kota besar.”
“Tingginya laju pertumbuhan sektor transportasi perlu diwaspadai,” kata Agus Sugiyono, Kepala Bidang Perencanaan Energi Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi pada BPPT. “Karena, sebagian konsumsi energinya masih menggunakan BBM yang disubsidi.”
PRODUK ANDALAN
Walaupun demikian, pertumbuhan bisnis mobil pribadi tetap saja melonjak. Proyeksi pertumbuhan kendaraan bermotor roda empat disampaikan Frost & Sullivan, firma konsultan global, pada awal Februari.
Konsultan itu mengungkapkan penjualan mobil akan mencapai sekitar 1,3 juta pada akhir tahun ini dengan produk andalan baru: low cost and green car (LCGC). Pada 2013, sejumlah produsen berhasil menjualnya dengan total penjualan nasional sebanyak lebih dari 51.000 unit. Frost & Sullivan memproyeksi LCGC—yang tetap mengkonsumsi bensin— akan mendorong penjualan mobil lebih besar pada tahun ini.
Sejauh ini, para pemain utamanya adalah Toyota (Agya), Daihatsu (Ayla), Honda (Brio Satya) dan Suzuki (Karimun Wagon). Ini belum ditambah dengan Nissan (Datsun Go). Tahun ini, sekitar 125.000 unit mobil murah diprediksikan akan terjual secara nasional. Walaupun mengklaim sebagai mobil hemat energi, saya kira laporan teknis DNPI kali ini tak bisa diabaikan.
Sejak 2005, Indonesia hingga kini masih menggunakan standar Euro 2, yang berarti kandungan timbal dalam bensin dan sulfur dalam solar masing-masing sebesar 500 parts per million (ppm).
Padahal Malaysia sudah menerapkan standar Euro 4 pada 2012, sedangkan Singapura, lebih awal lagi, yakni pada 2006. Thailand, salah satu kompetitor terbesar Indonesia di sektor otomotif, bahkan sudah menerapkan standar Euro 4 sejak 2 tahun lalu. Euro 4 mensyaratkan kandungan timbal dan sulfur masing-masing 50 ppm. Ini adalah 10 kali jauh lebih kecil.
Namun di sisi lain, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) menjelaskan, mobil beremisi rendah masih sulit terjangkau oleh masyarakat. Masalahnya, demikian asosiasi tersebut, teknologinya lebih mahal dibandingkan dengan mobil murah macam LCGC. Dalam rekomendasi KLH, penerapan standar Euro 4 paling lambat dilakukan pada 2016.
“Mobil hibrida itu harganya masih mahal,” kata Jongkie D. Sugiarto, Ketua I Gaikindo pada Oktober lalu. “Saya belum yakin mobil itu laku terjual di Indonesia. Kalau harganya mahal, orang kebanyakan tidak bisa beli.”
“LCGC akan menjadi pil ajaib,” kata Vivek Vaidya, Wakil Presiden Otomotif dan Praktik Transportasi pada Frost & Sullivan. “Batas harga LCGC akan menciptakan segmen level baru pembeli mobil pertama kalinya dengan daya beli yang terbatas.”
Saya kira analisis Vaidya tak keliru. Juga penjelasan Gaikindo soal tidak banyak terserapnya mobil beremisi rendah. Bisnis otomotif secara perlahan—tanpa mobil hibrida pun—terus menapaki jalan mulusnya.
Menelusuri kawasan KIIC, Karawang pada awal Maret lalu, saya melihat enam alat berat tengah beroperasi pada siang itu. Ada bendera dan span duk yang terpasang.
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, salah satu produsen mobil terbesar, memang tengah membangun pabrik mesin baru senilai Rp2,3 triliun di sana. Sedikitnya delapan pekerja bolak-balik untuk bekerja. Proyek tersebut mengambil tempat di dalam kawasan Karawang Jabar Industrial Estate (KJIE), yang berbatasan dengan KIIC.
Dan tak jauh dari sana, Ento tetap setia menghalau gerombolan rakus burung pipit dengan tongkat kecilnya. Atau sesekali beristirahat di sawung yang sederhana.
Saya berpikir berapa lama lagi dia dan para petani di Desa Puseurjaya akan bertahan dalam kepungan tembok industri raksasa. Tembok yang tepat berada di balik sawah-sawah mereka. Kereta api lokal yang membawa saya kembali ke Ibu Kota terus berlalu, tetapi ada kekhawatiran yang masih tertinggal. Dari Karawang hingga Jakarta.