LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS) Karawang berjudul Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Karawang Menurut Lapangan Usaha 2012 memaparkan infrastruktur macam irigasi teknis semakin lama semakin menua. Lambatnya pencairan anggaran dan tidak diakomodasinya anggaran terhadap kebutuhan infrastruktur, menjadi kendala tersendiri.
Rusaknya jembatan dan jalan juga memengaruhi hasil penjualan petani. Di sisi lain, laporan tersebut justru mengungkapkan, industri otomotif dalam 3 tahun terakhir tetap menunjukkan dominasinya.
Hal ini bisa dilihat dalam struktur ekonomi Kabupaten Karawang atas dasar harga berlaku periode 2010— 2012. Sektor pertanian menunjukkan persentase yang rendah yakni 8,45%, 8,61% dan 8,38%.
Dibandingkan dengan industri pengolahan, yang didominasi oleh otomotif, data tersebut menunjukkan perbedaan sangat besar. Masing-masing adalah 53%, 52,94% dan 51,92%. Semakin besar persentase suatu sektor, demikian BPS, maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi.
“Jujur, memang ada ketimpangan. Pembelian lahan cukup tinggi,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Karawang Teddy Rusfendi Sutisna, kepada saya. “Perkembangan ke arah perkotaan tak bisa ditahan. Tetapi kami ingin menyelaraskan antara sektor industri dan pertanian.”
Masalahnya, BPS juga menunjukkan perbedaan mencolok melalui data PDRB kabupaten Karawang atas dasar harga konstan. Ini memampangkan bagaimana perkasanya pertumbuhan industri nonpertanian saat ini.
Pada 2000, industri pengolahan—yang terdiri dari minyak dan gas (migas) serta nonmigas—mencapai Rp996,67 juta, tetapi melonjak tajam 12 tahun kemudian.
Jumlahnya adalah Rp12,59 triliun dengan komposisi sektor migas sebesar Rp20,99 miliar dan nonmigas, yang didominasi alat angkut, mesin dan peralatannya, Rp6,8 triliun. Bandingkan dengan sektor pertanian.
TERUS TURUN
Pada 2000, hanya mencapai Rp469,30 miliar dan hanya naik menjadi Rp1,77 triliun pada 2012. Khusus masalah tersebut, saya menemui Asep Surya, Kepala Seksi Analisis Neraca Wilayah BPS Karawang, dan Lisa Suciati, Divisi Sosial Kependudukan BPS Karawang.
“Perubahan itu terasa sekali, sekitar tahun 2000 hingga kini,” kata Asep. “Petani-petani pemilik lahan tergusur, ketika sawah-sawahnya dijual.”
“Sektor pertanian kemungkinan akan terus menurun,” kata Lisa. “Tumbuhnya industri juga diikuti oleh sektor jasa. Ini ditandai dengan maraknya hotel atau apartemen di Karawang.”
Saya tak bakal lupa apa yang Asep dan Lisa bicarakan pada pagi itu di kantornya. Demikian pula penjelasan lima petani dari Desa Puseurjaya pada hari sebelumnya. Mereka mengatakan Karawang kini tak lagi menjadi lumbung padi, melainkan berubah sebagai lumbung pabrik dan perumahan. Namun saya kira, sektor otomotif tak hanya jadi persoalan serius bagi pertanian.
Dari Desa Puseurjaya atau Desa Muliajaya. Namun, juga menjadi problem, dengan lebih banyaknya letusan gas rumah kaca. Ini gara-gara penggunaan energi fosil yang diproyeksi semakin besar di masa mendatang oleh sektor transportasi.
Mari melihat Laporan Peluang dan Kebijakan Pengurangan Emisi: Sektor Transportasioleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada 2010. Riset tersebut memaparkan meningkatnya penjualan mobil penumpang, mobil komersial maupun sepeda motor hingga 2030, berpengaruh pada masifnya letusan gas tersebut ke udara.
Pada tahun itu, jumlah mobil diperkirakan mencapai 30 juta sedangkan sepeda motor sebesar 60 juta. Walaupun jumlah mobil lebih sedikit, demikian DNPI, emisi terbesar tetap dipompa keluar oleh mobil dan bus. Masing-masing adalah 140 juta ton karbon dioksida dan 80 juta ton karbon dioksida.
Sementara itu, sepeda motor hanya mencapai 20 juta ton karbon dioksida. Laporan Outlook Energi Indonesia 2013 oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun turut memberikan proyeksinya. Salah satunya adalah lonjakan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) hingga 42,1% pada 2025 dibandingkan dengan periode sebelumnya, yakni 34,6% pada 2011.
Soal lainnya, adalah pangsa pemakaian energi nasional oleh sektor transportasi yang meningkat. Dari 27% menjadi 33%, dalam kurun waktu serupa. Namun ini tak hanya soal boros energi kotor, melainkan juga anggaran negara.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan penggunaan terbesar anggaran subsidi— dalam 3 tahun terakhir masing-masing mencapai lebih dari Rp100 triliun— pada sektor transportasi dihabiskan lebih dari setengahnya oleh mobil pribadi. Konsumsi itu habis digunakan untuk pembelian bensin sebanyak 60%. Imbasnya adalah pencemaran udara.