Bisnis.com, JAKARTA—Negara kembali terancam kehilangan pendapatan bukan pajak (PNBP) sebesar US$2,14 juta pada tahun ini.
Hal itu terjadi jika pemerintah menerima proposal penolakan PT Newmont Nusa Tenggara terkait rencana penaikan iuran produksi mineral atau royalti.
Pemerintah meminta penaikan royalti atas emas dan perak dari 1%-2% per kg penjualan menjadi 3,75% untuk emas dan 3,25% untuk perak.
Berdasarkan laporan tahunan Newmont Mining Corporation (induk Newmont Indonesia) pada 2013, Bisnis mencatat produksi emas perusahaan itu mencapai 5,5 juta ounce. Kontribusi Indonesia hanya 1% saja.
Artinya, produksi emas dari tambang Batu Hijau di Indonesia sekitar 55.000 ounce atau 1.559,224 kg (1 ounce setara dengan 0,0283 kg).
Harga jual emas pada saat itu rata-rata tercatat sebesar US$1.411 per ounce atau US$49.771,61 per kg. Maka dari itu, nilai penjualan emas Newmont dari tambang di Indonesia pada 2013 mencapai US$77,6 juta.
Jika pengenaan royalti yang dibebankan 1% saja, maka royalti yang harus dibayar Newmont ke negara hanya US$776.000. Padahal, jika royalti saat itu 3,75%, negara akan mendapat tambahan US$2,14 juta.
Peluang hilangnya pendapatan sebesar itu bisa saja terjadi pada tahun ini, pasalnya, saat ini pembahasan renegosiasi kontrak pertambangan antara pemerintah dengan Newmont, untuk kesekian kalinya mengalami kegagalan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan pihaknya akan tetap meminta penaikan itu karena memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu peraturan pemerintah.
Karena itu, pihaknya menilai wajib untuk melaksanakannya.
“Newmont harus mematuhi aturan yang ada di Indonesia. PP No.9/2012 itu menyebutkan penaikan royalti sebesar itu,” ungkapnya, Senin (16/6/2014).
Peraturan Pemerintah (PP) No.9/2012 membahas tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batubara. Pada pasal 4 ayat 3 PP itu menyatakan “Besaran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e adalah sebesar 4% (empat persen) dari keuntungan bersih pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi untuk mineral logam dan batubara.”
Hal itu kemudian diperjelas pada lampiran PP No.9/2012. Di dalam lampiran itu menyebutkan jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari iuran produksi (royalti) mineral emas sebesar 3,75% dari harga jual per kg. Sementara royalti mineral tembaga sebesar 4,00% dari harga jual per ton dan royalti perak sebesar 3,25% dari harga jual per kg.
Newmont berdalih penaikan tersebut tidak wajib diikuti karena tidak tercantum dalam kontrak karya (KK). Sebagai catatan, KK Newmont yang terbit pada 2 Desember 1986 tidak menyebutkan besaran tarif royalti untuk tembaga.
Kontrak tersebut hanya menjelaskan tarif royalti untuk emas dan perak yang dibanderol sekitar 1%-2% dari nilai penjualan.
Lebih jauh, perusahaan tersebut menyatakan dalam keadaan kahar (force majeur) dan telah menempatkan status stand by kepada sebagian besar karyawannya dengan gaji yang dipotong per Juni 2014.
Manajemen Newmont, dalam pernyataan resminya menyebutkan kondisi ini terpaksa diterapkan karena perusahaan karena fasilitas penyimpanan konsentrat yang dimiliki perusahaan sudah penuh.
Sementara, Newont belum bisa melakukan ekspor lantaran mandeg-nya renegosiasi.
Dede I Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba menyatakan akan mengevaluasi tindakan force majeur yang dilakukan Newmont tersebut.
Karena, menurutnya, langkah itu ditempuh secara sepihak oleh pihak Newmont.
“Kami lihat dulu apakah ini wajar atau hanya dibuat-buat. Kalau tidak wajar, ya berarti menyalahi aturan,” tegasnya.