Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah tetap berpendapat bahwa pengetatan impor baja paduan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.28/2014 tidak akan menekan importir dan produsen baja boron nasional.
Kementerian Perdagangan berpendapat Permendag tersebut justru merupakan kunci untuk melindungi industri dalam negeri, bukan sebagai peraturan yang membebani sebagaimana ditafsirkan oleh beberapa pelaku usaha terkait.
“Justru itu yang sedang kami upayakan, yaitu agar [perusahaan] yang membutuhkan [baja paduan] bisa mendapatkan. Namun, yang kami coba hindari adalah penggunaan baja boron untuk praktik pelarian HS dari peraturan baja yang lain. Itu kuncinya,” jelas Wamen Perdagangan Bayu Krisnamurthi akhir pekan lalu.
Dalam Permendag yang dilegalkan pada 2 Juni tersebut, diatur juga sejumlah persyaratan administratif yang lebih rumit bagi produsen atau importir untuk mendatangkan baja paduan dari luar negeri.
Kendati demikian, Bayu menegaskan otoritas perdagangan tidak akan mempersuit atau memperpanjang waktu pengajuan impor bagi perusahaan yang membutuhkan. “Rasanya tidak, karena cuma dibutuhkan pengajuan izin sekali saja.”
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Permendag tersebut ditelurkan setelah Kemendag mengungkapkan adanya indikasi unfair trade berupa pengalihan pos tarif dengan menggunakan kode HS baja mulai ejak tahun lalu.
Praktik tersebut diyakini telah menekan kinerja industri besi dan baja domestik. Berdasarkan catatan Kemendag, telah terjadi lonjakan kenaikan impor baja boron untuk kode HS7225, 7227, dan 7228 pada tahun lalu dibandingkan periode 2012 dengan kenaikan berturut-turut 22,94%, 77,61%, dan 6,3%.
Akibat pengetatan impor baja paduan tersebut, sejumlah pengusaha baja boron nasional menyuarakan kekhawatiran akan kesulitan mendapatkan bahan baku, serta kenaikan harga baja paduan yang mencapai 4% menjadi sekitar Rp7.900/kg di pasaran.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Baja Ringan Beny Lau akhir pekan lalu mengungkapkan tren lonjakan impor bahan baku baja paduan sekitar 22% per tahun tersebut merupakan hal yang wajar seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bisnis properti di Indonesia.
“Sebagian besar konsumsi material [baja paduan tersebut] digunakan untuk bahan bangunan, khususnya perumahan, gedung pemerintahan, serta sekolah guna mengurangi pembalakan liar,” jelasnya.
Dia mengungkapkan kebutuhan nasional baja ringan mencapai 626.163 ton, sedangkan kapasitas produksi dari tiga perusahaan baja paduan terbesar di Indonesia hanya mencapai sekitar 305. 000 ton.
Adapun, ketiga perusahaan yang dimaksud a.l. PT BlueScope Lysaght Indonesia, PT Saranacentral Bajatama Tbk, dan PT Sunrise Steel yang mengusai lebih dari 50% pasar baja ringan di dalam negeri.
Kebijakan pembatasan impor baja boron tersebut, menurut Beny, akan mengerek harga dan berpotensi penghambat penggarapan sejumlah proyek besar di Tanah Air.
Selain itu, Permendag tersebut juga diperkirakan memicu perusahaan untuk memilih impor barang jadi, sehingga potensi pengurangan tenaga kerja dari sektor baja kian menganga.