Bisnis.com, DENPASAR – Pakar pertanian dari Universitas Udayana Prof I Wayan Windia melihat kecenderungan pengurus organisasi pengairan tradisional di Bali atau Subak mulai putus asa, akibat kurangnya perhatian dari pemerintah daerah setempat.
"Padahal subak mempunyai peran yang besar dalam mendukung kelestarian budaya Bali, di samping menyediakan kebutuhan pangan," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Rabu (27/5/2014).
Sejak UNESCO menetapkan Subak sebagai salah satu warisan budaya dunia (WBD) pada 29 Juni 2012, sampai saat ini belum terbentuk badan resmi pengelola WBD Subak.
Menurut dia, Badan Pengelola WBD itu sangat penting untuk memperjuangkan berbagai subsidi yang harus diberikan kepada petani, agar mereka merasa senang bertani, dan mempertahankan kesinambungan subak.
Windia yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD menyoroti kasus Subak di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, yang telah diakui sebagai WBD. Sebanyak 14 Subak di kawasan Catur Angga Batukaru di daerah "Gudang Beras" itu memiliki keunikan dan kekhasan yang berundag-undang yang sejak lama dikenal luas masyarakat internasional.
Pemkab Tabanan sebelum ditetapkan kawasan Catur Angga sebagai WBD, hanya memandang kawasan Jatiluwih sebagai bagian dari daya tarik wisata (DTW) bukan sebagai kawasan WBD.
"Hal itu sungguh sebuah keputusan yang sangat merendahkan makna kawasan WBD Jatiluwih. Oleh sebab itu dibentuklah oleh Pemkab Tabanan, sejenis Badan Pengelola DTW Jatiluwih, seperti layaknya DTW Tanah Lot," ujar Prof Windia.
Kedua kawasan yakni Tanah Lot dan Jatiwulih sangat jauh berbeda. Tanah Lot adalah kawasan "monumen mati" karena hanya tinggal mengelolanya, sementara Subak Jatiluwih dan sekitarnya adalah kawasan "monumen hidup".
Subak kawasan Catur Angga yang dikelola oleh petani di bawah pimpinan pakaseh. Oleh karena itu dalam pengelelolaan kawasan Jatiluwih, suara pekaseh haruslah betul-betul diperhatikan.
"Untuk itu usulan dari Subak, jangan dianggap sebagai angin lalu saja, dan Subak secara politis sudah ikut terlibat dalam pengelolaan kawasan. Saya kira petani jangan selalu dianggap bodoh, dan tidak mampu mengelola kawasannya atau asetnya," ujar Wayan Windia.
Ia mengharapkan dalam struktur pengelolaan WBD Jatiluwih, petani harus menjadi penanggungjawab badan pengelola tersbut dan percayakan pengelolaannya kepada petani.
Windia yakin, dengan pendampingan yang baik, maka petani akan mampu mengelola secara berkelanjutan tanpa friksi.
Petani harus ditempatkan sebagai subyek, dan bukan semata sebagai obyek. Dengan demikian surat keputusan (SK) Bupati Tabanan seharusnya menetapkan nama badan itu sebagai Badan Pengelola Kawasan WBD Jatiluwih, bukan dalam bentuknya sebagai Badan Pengelola DTW Jatiluwih.
Sementara Pemkab Gianyar harus juga segera membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada tiga subak yang menjadi WBD di daerah itu.
"Hanya dengan sentuhan-sentuhan kecil seperti itu, maka petani dan subak akan merasa sangat diperhatikan, dalam kapasitasnya sebagai kawasan WBD," ujarnya.