Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) memproyeksikan imbas lonjakan tarif tenaga listrik (TTL) golongan industri pada pabrikan ban baru terasa pada awal Juni 2014. Efisinesi produksi membuka kemungkinan perusahaan merumahkan sejumlah pekerja.
“Kalau nanti efek kenaikan tarif ini berupa pengurangan kapasitas produksi lantas tenaga kerja dirumahkan? Pada akhirnya, nanti konsumen juga yang dikorbankan,” kata Ketua APBI Azis Pane kepada Bisnis.com, Senin (12/5/2014).
Mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi biaya energi terhadap total ongkos produksi industri skala sedang dan besar sangat bervariasi antara 3% - 29,3%. Khusus di industri ban, imbuh Azis, kontribusi biaya energi terhadap biaya produksi berkisar 10% - 15%.
Pasalnya, kenaikan tarif tenaga listrik bakal menggembungkan proporsi biaya energi dalam ongkos produksi. Kemudian, pengusaha mengkompensasikannya kepada konsumen berupa penaikan harga jual barang.
Namun, cara itupun bukanlah solusi akhir mengingat daya beli konsumen domestik maupun pasar ekspor sedang tak subur.
Penjualan ban pengganti (replacement) Januari – Februari 2014 saja hanya tumbuh tipis dibandingkan dengan original equipment manufacturer (OEM). “Kami tak masalah kalau TTL naik asalkan pemerintah juga sama-sama kencangkan ikat pinggang. Pasar domestik lesu, ekspor lemah,” tutur Azis.
APBI mencatat selama 2 bulan pertama tahun ini, penjualan ke OEM naik 10,3% menjadi 1,08 juta unit terhadap perolehan bulan yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Sedangkan produk replacement cuma bertumbuh 3% jadi 2,23 juta secara YoY.
Penjualan ban pengganti terdiri dari passenger car radial (PCR) yang umumnya dipakai mobil penumpang dan bias untuk kendaraan niaga. Si karet bundar kategori PCR laku 1,26 juta unit sedangkan bias 965.741 unit.