Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo dinilai membebani keuangan negara dan pemerintahan baru 2014-2019 dengan meloloskan permohonan utang sebesar US$47,38 juta atau setara dengan Rp534,16 miliar untuk proyek rehabilitasi terumbu karang.
Proyek tersebut bernama Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI), dan bakal dilangsungkan kembali pada 2014-2019.
Adapun, nilai utang tersebut diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya didanai dari hibah GEF (Global Environmental Facility) sebesar US$10 juta dan US$5,74 juta yang dibebankan kepada APBN.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, berkaca dari 3 fase COREMAP sebelumnya, sudah semestinya proyek hutang ini dihentikan.
“Selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan negara dan terjadi banyak penyimpangan. Dari temuan BPK sudah mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi”, katanya dalam keterangan resmi, Selasa (1/4).
Dalam dokumen berkode P127813 yang dipublikasikan oleh Bank Dunia, disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mengajukan proyek hutang yang dinamai Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).
Proyek ini mendapat persetujuan Bank Dunia pada 21 Februari 2014 dan akan berakhir pada 2019. Proyek hutang ini merupakan kelanjutan dari proyek serupa sebelumnya yang dibagi ke dalam tiga tahapan: fase inisiasi (1998-2001), fase akselerasi (2011-2007), dan fase institusionalisasi (2007-2013).
Sebagaimana diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Januari 2012 menemukan beberapa fakta. Hal ini menjadi alasan pihak KIARA mempertanyakan dan menolak adanya poyek lanjutan.
Pertama, desain dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui program COREMAP II, antara lain mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir;
Kedua, BPK mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline).
Ketiga, pelaksanaan COREMAP II pada beberapa kabupaten tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah COREMAP II.
Keempat, pengelolaan dana bergulir (seed fund) tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya.
Kelima, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak dapat dipakai sebagai ukuran atas pencapaian program tersebut.
Keenam, penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.
“Dengan menghentikan proyek utang tersebut, anggaran negara sebesar US$5,74 juta atau setara dengan Rp64,71 miliar yang dialokasikan untuk co-financing dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan,” tambah Halim.
Dirinya melanjutkan, KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana untuk menghentikan dan mengembalikan proyek hutang ini.
“Selain itu kedua pihak harus mengedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat berbasis kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun,” tutup Halim.