Bisnis.com, JAKARTA — Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menilai Indonesia butuh undang-undang baru untuk menjamin Ditjen Pajak mempunyai kapasitas dan otoritas membuka akses data nasabah.
“Isu mengenai pembukaan akses rekening ini bukan hanya terbatas pada respons Bank Indonesia ataupun DPR, tetapi lebih kepada perlunya peraturan baru atau undang-undang baru,” ujar Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria, seperti dikutip dari laman Setkab, Kamis (27/3/2014).
Dia menjelaskan dunia tengah bergerak menuju sistem pembagian informasi otomatis. Artinya, apabila seseorang membuka rekening di negara lain, maka sistem akan menginformasikan ke negara asalnya tentang pembukaan rekening tersebut.
Sistem tersebut, sambungnya, tidak hanya menyangkut pajak perorangan, tetapi juga perusahaan. Hal itu bertujuan untuk mencegah double taxation, sehingga menguntungkan kedua belah pihak, sekaligus negara dapat menentukan pajak yang adil.
“Dengan demikian, negara yang bersangkutan akan dapat memonitor dan mengevaluasi terkait kalkulasi pajak bagi wajib pajaknya,” katanya.
OECD juga telah mengeluarkan panduan teknis mengenai dibukanya akses data perbankan untuk kepentingan pajak. Adapun, Diten Pajak berencana menggunakan panduan teknis tersebut dalam menggali potensi pajak dari orang pribadi.
Sementara itu, Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengaku belum mendapatkan persetujuan dari DPR. Padahal, dibukanya akses tersebut dapat membantu Ditjen Pajak menelusuri potensi pajak yang belum tersentuh.
“Yang terjadi selama ini, kalau ada kasus pajak, Kemenkeu baru akan mengirimkan surat [permohonan] kepada Bank Indonesia untuk membuka rekening, dan itu tidak bisa didelegasikan. Jadi prosesnya memang lama,” ujarnya.