Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

29 Perusahaan Konsesi di Riau Miliki Titik Api Masif

World Resources Institute (WRI) merilis laporan tentang masifnya titik api dalam konsesi 29 perusahaan di Provinsi Riau periode 20 Februari12 Maret 2014.
Titik api di lahan konsesi hutan Riau/JIBI
Titik api di lahan konsesi hutan Riau/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA—World Resources Institute (WRI) merilis laporan tentang masifnya titik api dalam konsesi 29 perusahaan di Provinsi Riau periode 20 Februari—12 Maret 2014.

Laporan yang berjudul Fires in Indonesia Spike to Highest Levels Since June 2013 Haze Emergency pada 13 Maret, memaparkan titik api sebanyak 36% terjadi dalam konsesi tanaman untuk kertas, sisanya adalah konsesi kelapa sawit (11%), konsesi kayu (2%) dan di luar konsesi (51%).

WRI menggunakan Global Forest Watch, sebuah sistem yang melacak perubahan tutupan pohon dan api seketika pada periode Februari—Maret. Sistem itu memakai NASA’s Active Fire Data, yang menentukan lokasi kebakaran di darat. Data itu kemudian dianalisis dengan data mutakhir konsesi perusahaan dari Kementerian Kehutanan.

“Seperti yang terjadi sebelumnya, sekitar setengah dari kebakaran tersebut dilakukan dalam lahan yang dikelola perusahaan kertas, kelapa sawit dan kayu,” demikian laporan tersebut, Rabu (26/3/2014).

Laporan organisasi yang berbasis di Washington DC, AS, itu memaparkan sedikitnya 12 perusahaan kertas dengan afiliasi terbesar pada grup bisnis Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL).  

Mereka adalah PT Sakato Pratama Makmur (APP, 323 titik); PT Arara Badi (APP, 173 titik); PT Riau Andalan Pulp&Paper (APRIL, 130 titik); PT Satria Perkasa Agung (APP, 108 titik); PT Sumatera Riang Lestari (APRIL, 103 titik); PT Suntara Gajapati (APP, 102 titik); PT Rimba Rokan Lestari (APRIL, 33 titik); PT Ruas Utama Jaya (APP, 31 titik); PT Satria Perkasa Agung Unit (APP, 19 titik); PT Perkasa Baru (tak ada keterangan afiliasi, 17 titik); PT Seraya Sumer Lestari (APRIL, 12 titik); dan PT Mitra Hutani Jaya (APP, 11 titik).

Adapun perusahaan kelapa sawit adalah berikut ini. PT Guntung Hasrat Makmur (Sambu Group, 65 titik); PT Riau Makmur Sentosa (tanpa keterangan afiliasi, 57 titik); PT Triomas FDI (Panca Eka Group, 40 titik); PT Trisetya Usaha Mandiri (tanpa keterangan afiliasi, 36 titik); PT Uniseraya (tanpa keterangan afiliasi, 29 titik) dan  PT Gelora Sawita Makmur (tanpa keterangan afiliasi, 13 titik);

Selain itu, PT Samukti Karya Lestari I (tanpa keterangan afiliasi, 13 titik); PT Surya Dumai Agrindo (First Resources, 13 titik); PT Riau Sakti Transmandiri (tanpa keterangan afiliasi, 10 titik); PT Sarpindo Graha (tanpa keterangan afiliasi, 10 titik); PT Teguhkarsa Wanalestari (tanpa keterangan afiliasi, 10 titik); dan PT Wana Subur Sawit Indah (tanpa keterangan afiliasi, 10 titik).

Sektor terakhir, yakni konsesi kayu terdapat lima perusahaan. Mereka terdiri dari PT Teluk Nauli (tanpa keterangan afiliasi, 36 titik); PT Hadida Hamidi (tanpa keterangan afiliasi, 5 titik); PT Diamond Raya Timber (Panca Eka Group, 5 titik); PT Bhara Induk (tanpa keterangan afiliasi, 3 titik); dan PT Putra Duta Indah Wood (tanpa keterangan afiliasi, 3 titik).

“Kami sudah menyampaikan data kebakaran sejak tahun lalu ke Kementerian Kehutanan dan UKP4,” kata Andhyta Utami, asisten riset WRI di Jakarta.

DIHENTIKAN SEMENTARA

Terkait dengan hal tersebut, Presiden Direktur RAPP—perusahaan di bawah kontrol APRIL, Kusnan Rahmin mengatakan pihaknya sempat menghentikan sementara operasi bisnisnya di Sumatra serta memindahkan pegawai.

Dalam keterangan resmi, APRIL juga melakukan langkah serial untuk mengatasi ancaman kebakaran, di antaranya adalah menambah 200 pemadam kebakaran penuh waktu, pompa sekaligus alat berat di wilayah kebakaran dan menyediakan tiga helikopter.

Pada kesempatan berbeda, Direktur APP Suhendra Wiriadinata mengatakan pihaknya menginvestasikan sumber daya yang besar untuk usaha penanggulangan kebakaran hutan di dalam maupun sekitar kawasan hutan tanaman industri.

Perusahaan juga melakukan pembinaan terhadap program Masyarakat Peduli Api (MPA) lebih dari 120 desa. “Di tahun 2013, biaya operasional untuk penanggulanangan kebakaran lebih dari US$4 juta,” katanya.

APP mengklaim telah menerapkan kebijakan tanpa pembakaran sejak 1996 dan kebijakan tanpa deforestasi sejak Februari 2013. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan pembakaran itu diduga dilakukan oleh oknum masyarakat yang berada di luar konsesi perusahaan.

Menurutnya, hal itu terjadi karena biasanya konsesi perusahaan menjadi konflik dengan masyarakat.

“Tidak mungkin perusahaan melakukan pembakaran di dalam konsesi mereka sendiri. Ada oknum yang melakukannya di luar area,” kata Purwadi.

Ketika mengkonfirmasi ke First Resources Limited, Serene Lim dari Divisi Relasi Investor mengatakan data yang digunakan oleh WRI itu keliru. Anak usaha perusahaan, yakni PT Sumber Dumai Agrindo, katanya, tak memiliki konsesi seperti yang ditunjukkan oleh organisasi riset tersebut.

“Kami juga memiliki kebijakan nol pembakaran, untuk pembukaan lahan. Pertama itu adalah ilegal, dan perusahaan berkomitmen untuk tidak melakukannya,” demikian Lim dalam surat elektroniknya.

Di sisi lain, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menyatakan pihaknya mencatat sejumlah titik api pada Februari lalu justru terdapat pada tiga perusahaan asal Indonesia dan Malaysia. Perusahaan itu adalah PT Globalindo Alam Perkasa yang berafiliasi dengan Musim Mas, Adei Nilo Complex dan Sekarbumi Alam Lestari, masingmasing berafiliasi dengan Kuala Lumpur Kepong Berhad.

Dalam keterangan resminya mengenai RSPO dan asap, asosiasi itu menyatakan pembakaran lahan secara terbuka biasanya dilakukan oleh komunitas lokal yang tinggal di dalam dan area konsesi.

“Kebakaran dianggap sebagai cara tercepat membersihkan lahan," demikian asosiasi tersebut.

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah melaporkan sejumlah perusahaan kertas maupun kelapa sawit ke kepolisian sebagai salah satu bentuk advokasi penyelamatan lingkungan hidup.

Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Muhnur Satyahaprabu menuturkan selama ini pemerintah selalu membiarkan para penjahat lingkungan, yakni para korporasi pemegang izin pengelolaan hutan dan lahan.

“Harus ada hukuman bagi penjahat korporasi yang berefek jera. Jangan masyarakat terus yang disalahkan,” kata Muhnur.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Ismail Fahmi
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper