Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mendag Bilang Gara-Gara Merek, RI Sulit Bersaing

Permasalahan branding dinilai sebagai salah satu kendala bagi berbagai produk Indonesia untuk mengekspansi pangsa pasarnya ke luar negeri. Padahal, pemerintah menilai banyak produk lokal yang sebenarnya telah bermutu internasional.
ILustrasi Brand/JIBI
ILustrasi Brand/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA—Permasalahan branding dinilai sebagai salah satu kendala bagi berbagai produk Indonesia untuk mengekspansi pangsa pasarnya ke luar negeri. Padahal, pemerintah menilai banyak produk lokal yang sebenarnya telah bermutu internasional.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, yang mengutarakan Kemendag siap membantu pelaku usaha domestik untuk memperlebar jaringannya di luar negeri.

“Kita lihat ada barang-barang Indoensia yang seharusnya bisa bersaing dengan produk asing, misalnya produk [jamu] ‘Tolak Angin’. Tapi, karena [mereknya] pakai Bahasa Indonesia, ketika dia masuk ke pasar Singapura atau Malaysia, dianggap hanya untuk orang Indonesia saja. Bagaimana cara menjelaskan apa itu obat masuk angin?” katanya, Kamis (20/3/2013)

 Dia juga mencontohkan produk lain seperti kopi ‘Kapal Api’, yang sebenarnya memiliki kualitas yang mampu bersaing di pasar global. Namun, karena branding dan pencitraan produknya yang kurang berorientasi internasional, merek dagang tersebut susah dijual di luar negeri.

“Itu harus kami bantu. Kemendag harus bantu. Mungkin kami bisa membantu melalui penyuluhan atau memberi sedikit modal agar branding-nya dapat dibahasa Inggris-kan, lalu diterjemahkan untuk apa fungsinya. Ini sedang saya cari [caranya],” lanjutnya.

Lutfi mengungkapkan Kemendag akan belajar dari pengalaman Departemen Perdagangan di Jepang dalam membuat program bertajuk Cool Japan yang menerapkan internasionalisasi bagi produk yang laris di dalam negeri agar dapat dijual di luar negeri.

Selain branding, katanya, masalah lain muncul akibat sikap perusahaan yang cenderung bertumpu pada kekuatan pasar dalam negeri yang sangat besar. Padahal, sudah saatnya perusahaan-perusahaan berpikir untuk menguasai pasar asing seperti Asean.

“Kami bantu supaya branding-nya lebih dikenal dengan baik di luar. Apa susahnya menerjemahkan merek dagang? Seharusnya tidak sulit. Banyak juga industri kreatif yang branding-nya lebih baik agar mereka bisa berkompetisi. Jadi seharusnya yang besar tidak kalah karena kualitasnya lebih baik, harga lebih bagus, dan komoditas basisnya di Indonesia.”

Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Franky Sibarani mengakui pembangunan brand memang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Dia membenarkan ada beberapa produk nasional yang sulit diterima akibat kesulitan pelafalan.

“Ada produk kita di China yang tidak mudah spellin-nya oleh warga sana, sehingga perlu ada penyesuaian seperti diterjemahkan. Namun, kasus tersebut tidak terjadi untuk semua produk. Tidak sedikit juga produk kita yang bisa diterima, misalnya ‘Tango’ dan ‘Indomie’,” ujarnya kepada Bisnis.

Menurutnya, rencana internasionalisasi brand melalui penerjemahan hanya bisa dilakukan apabila pemerintah menghelat riset pasar terlebih dahulu, karena wewenang untuk menciptakan merek dagang berada di tangan pelaku usaha.

Dia menambahkan  saat ini perdagangan tidak bisa melihat pasar berdasarkan negara. Akan lebih baik apabila satu merek dagang dapat diterima di semua negara tanpa diubah atau diterjemahkan, kecuali bila ada kasus khusus seperti pelafalan dan arti.

Yang lebih penting, lanjutnya, adalah penggunaan bahasa lokal seusai negara tujuan ekspor untuk pelabelan seperti cara penggunaan atau kandungan bahan. “Bisa juga logonya tetap, tapi penamaannya saja yang berbeda.”

Franky berpendapat kecenderungan pelaku usaha untuk menekankan pada pasar dalam negeri lebih disebabkan karena segmentasi yang memang ditujukan untuk pasar dalam negeri. Dia mengatakan banyak perusahaan yang memang segmen produknya untuk pasar asing, karena tidak dibuat untuk konsumsi Indonesia.

“Jadi bukan karena tidak mau ekspansi. Sekarang sudah banyak perusahaan yang menambah proporsi ekspornya dibanding pasar domestiknya menjadi 10:90 atau 20:80,” simpulnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ismail Fahmi

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper