Bisnis.com, TASIKMALAYA--Para petani teh di Kabupaten Tasikmalaya belum merasakan kembali keuntungan maksimal dari hasil perkebunan yang sudah terkenal sejak zaman Belanda tersebut. Salah satu penyebabnya yakni populasi perbebunan teh yang setiap haktare lahan hanya diisi 70%.
Ketua Asosiasi Perkebunan Teh Indonesia (Aptelindo) Tasikmalaya Ena Taryana mengatakan berdasarkan perbandingan hasil petik pucuk teh di Kabupaten Tasikmalaya hanya menghasilkan antara maksimal 7 kwintal per ha. Sedangkan di Jawa Tengah, dengan luas yang sama mampu menghasilkan 2-3 ton pucuk.
“Permasalahan utamanya, kepadatan populasi pohon teh hanya 70%. Selain itu, cara perawatan juga menentukan kualitas serta kuantitas pucuk teh yang dihasilkan. Dengen kondisi itu. bagi petani kecil produksi teh belum memberikan hasil yang memuaskan,” kata Yana kepada Bisnis, Kamis (13/3/2014).
Menurutnya, petani pun belum memiliki nilai tambah terhadap hasil daun teh, yang saat ini masih menjualnya ke pengepul.
Dia menyebutkan harga teh basah di tingkat petani saat ini di kisaran Rp.2000-Rp2.300/kg, sedangkan harga kering dijual Rp10.500-Rp12.500/kg.
Dia menjelaskan agar perkebunan teh semakin produktif perlu peremajaan, baik di lahan yang terlalu renggang maupun mengganti pohon yang sudah tua.
Namun kendala peremajaan tidak dapat dilakukan petani akibat keterbatasan modal yang dimiliki. Sehingga, katanya, petani terpaksa hanya melanjutkan pohon teh yang sudah ada meskipun hasilnya tidak maksimal.
“Harga bibit teh sekitar Rp2.500 per batang. Jika dalam satu ha membutuhkan pohon 1.000 pohon, petani harus mengeluarkan dana yang cukup besar. Maka banyak petani yang hanya tambal sulam untuk peremajaan ini. Program peremajaan bantuan dari pemerintah itu tidak serentak, diberikan secara bergilir,” ungkap Ena.
Adapun untuk menciptakan nilai jual teh, dia mengaku pihaknya telah merintis produksi teh fowder.
Menurutnya, kegunaan teh fowder tidak hanya untuk diminum secara tradisional, tetapi juga sebagai campuran makanan, kue, dan minuman.
“Harapan kami bulan ini, produksi teh fowder sudah bisa bisa terealisasi," katanya.
Yana meyakini dengan produksi teh fowder akan memiliki nilai tambah bagi para petani. “Kami membuat teh fewder ini diberi nama Taraju Maca Green Tea. Untuk jalur distribusi sudah disiapkan. Mudah-mudahan harga juga bisa tinggi. Jika di Jepang teh fowder bisa mencapai Rp600.000/kg, di kita Rp150.000/kg saja sudah cukup tingggi,” katanya.
Kepala Seksi Rehabilitasi dan Pemberdayaan Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya Agus Setiadi mengatakan luas lahan teh di Kabupaten Tasikmalaya tercatat 9.394 ha. Lahan tersebut tersebar di Kecamatan Taraju, Bojonggambir, Sodonghilir, dan Cigalontang.
Lahan tersebut dikelola oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yakni PT. Sinar di Taraju, yang mengelola lahan hak guna usaha (HGU) 728,43 ha dan PT. Cibuniwangi mengelola seluas 455,23 ha. Jumlah selebihnya merupakan perkebunan teh rakyat
“Untuk hasil teh, masing-masing PBS mengelola sendiri termasuk pascapanen. Sedangkan hasil produksi perkebunan rakyat, ada yang dijual mentah kepada pabrik besar, ada juga diolah sendiri dan dijual secara ritel,” katanya.
Secara terpisah, Koordinator National Reference Group on Tea Indonesia Iyus Supriatna mengatakan meningkatnya alih fungsi lahan membuat popularitas produk teh indonesia menjadi menurun.
Dalam 13 tahun terakhir, katanya, tren produk teh di Jabar mengalami penurunan sekitar 32.000 ha, sehingga menurunkan produktivitas.
"Dari sekitar 150.000 ha luas areal perkebunan teh Jabar, saat ini yang tersisa hanya 96.000 ha," jelasnya.
Iyus melanjutkan jumlah populasi pohon teh rakyat hanya dimiliki sekitar 7.000 pohon, padahal idealnya 12.000 pohon.
Sehingga, lanjut Iyus, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua pihak untuk mengganti areal perkebunan tanah yang menyempit.
"Teknologi harus ditingkatkan agar kualitas produk teh bisa berdaya saing," katanya (Anep Paoji)
Produktivitas Kebun Teh Cenderung Menurun
Para petani teh di Kabupaten Tasikmalaya belum merasakan kembali keuntungan maksimal dari hasil perkebunan yang sudah terkenal sejak zaman Belanda tersebut. Salah satu penyebabnya yakni populasi perbebunan teh yang setiap haktare lahan hanya diisi 70%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Adi Ginanjar Maulana
Editor : Ismail Fahmi
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
1 jam yang lalu