Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memberikan keleluasaan kepada Konsorsium Banten-Lampung selaku pemrakarsa Jembatan Selat Sunda untuk menguasai kepemilikan mayoritas megaproyek senilai Rp200 triliun itu.
Pasalnya, dalam keputusan terbaru, pemerintah tidak mengharuskan BUMN menjadi pemegang saham mayoritas proyek JSS.
“Peran BUMN tetap dimasukkan, tapi tidak perlu dikunci harus mayoritas. Kemampuannya berapa, itulah share BUMN,” kata Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy S. Priatna, Rabu (26/2/204).
Kementerian BUMN, lanjutnya, akan mengumpulkan BUMN, a.l. dari sektor perbankan dan perkapalan, untuk membahas seberapa besar kemampuan perusahaan pelat merah ikut serta dalam proyek JSS.
Dengan ketentuan itu, terbuka kemungkinan pemrakarsa menjadi pemegang saham mayoritas jika dana BUMN tidak besar.
Pemrakarsa yang dimaksud adalah Konsorsium Banten-Lampung, dalam hal ini PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS), yang merupakan konsorsium antara BUMD Provinsi Banten, BUMD Provinsi Lampung dan Artha Graha Network, grup perusahaan milik taipan Tommy Winata.
Sesuai Perpres No 86/2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda yang menjadi payung hukum pembangunan JSS, pemrakarsa bertugas melakukan penyiapan proyek berdasarkan perjanjian kerjasama antara pemrakarsa dengan badan pelaksana. Pemrakarsa pun berkewajiban membiayai dan menyelesaikan penyiapan proyek.
Pemerintah pun telah memutuskan proyek JSS berjalan tanpa APBN, baik studi kelayakan (feasibility study) maupun pembangunan. Selain itu, pemerintah akan segera membentuk badan pelaksana.
Dedy menuturkan pemasangan tiang pancang mustahil dilakukan tahun ini, senada dengan pernyataan Menko Perekonomian Hatta Rajasa sebelumnya. Dengan demikian, konstruksi dipastikan baru dimulai saat pemerintahan baru terbentuk.
Menurutnya, pemerintahan baru semestinya tetap melanjutkan gagasan pembangunan jembatan sepanjang 31 km itu karena menyangkut kepastian investasi di Tanah Air.
“The show must go on. Kalau pemerintahan baru membatalkan, itu kan akan mengganggu investasi,” ujarnya.
Kendati demikian, Dedy mempersilakan pemerintahan baru bila ingin merevisi Perpres No 86/2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda yang menjadi payung hukum pembangunan JSS.
Rencana pembangunan JSS sejauh ini masih mengundang polemik. Sebagian kalangan menilai pembangunan JSS justru akan membuat masyarakat lagi-lagi bertumpu pada moda transportasi darat. Padahal, sebagai negara kepulauan, armada transportasi laut dan pelabuhan semestinya diperkuat.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengaku telah menyampaikan syarat agar pembangunan JSS juga dibarengi dengan pembangunan infrastruktur jalan kereta api.
Di samping itu, reposisi rute kapal penyeberangan (feri) perlu dilakukan agar moda transportasi laut tetap hidup. Reposisi dilakukan dengan memindah rute dari semula Merak-Bakauheni. Namun, Bambang mengaku masih mengkaji rute mana yang akan dijajaki.
“Di negara lain, meskipun ada jembatan, ferinya tetap jalan. Coba lihat di Hong Kong. Di Suramadu juga begitu. Rutenya dibuat berbeda. Itu perlu kajian. Kami sedang minta itu. Soal dipindah ke mana, kami masih lihat pasarnya,” tuturnya.
Selain itu, Kemenhub meminta agar jembatan memenuhi standar International Maritime Organization (IMO), misalnya mengenai tinggi, lebar dan kepabeanan.