Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia diprediksi akan memperoleh tambahan pemasukan negara dari pajak keuntungan bila pabrik refinery alumina milik United Co. Rusal telah beroperasi pada 2017 sebesar US$25,2 juta per tahun.
Pasalnya, dalam skenario yang disusun Rusal, pemerintah diperkirakan akan menerapkan pajak keuntungan sebesar 25% dengan asumsi harga jual alumina US$350 per ton. Padahal, pendapatan dari hasil penjualan alumina sebelum dikenakan pajak diperkirakan sekitar US$85 per ton.
First Deputi CEO Rusal Bidang Investasi dan Pengembangan Maxim Sokov mengatakan itu angka rata-rata dari pabrik refinery alumina Rusal yang telah beroperasi. Namun, angka itu bisa terwujud apabila pabrik refinery alumina yang nantinya beroperasi di Indonesia memproduksi 1,2 juta ton alumina per tahun.
“Kami tak bisa berikan angka pasti berapa keuntungan yang akan kami dapat karena harga pasar selalu fluktuatif. Namun, yang jelas, ini saat yang tepat untuk membangun refinery,” ujarnya di Jakarta, Selasa malam (25/2/2014).
Dia menjelaskan untuk membangun pabrik refinery alumina setidaknya dibutuhkan waktu 2,5 tahun dengan belanja modal antara US$1.500 dan US$1.800 untuk kapasitas 1 juta ton per tahun. Hanya saja, perkiraan belanja modal yang akan disuntikkan perusahaan ke Indonesia sekitar US$3 juta karena perusahaan juga membangun pelabuhan laut dalam dan akses jalan sendiri.
Menurutnya, Indonesia berpeluang untuk menjadi negara tujuan investasi nomor satu di kawasan Asia Pasifik, khususnya untuk bisnis refinery. Pasalnya, Indonesia memiliki cadangan mineral yang berlimpah, mutu mineral yang bagus juga keberadaan batu bara untuk pembangkit tersedia dalam jumlah banyak
Selain itu, Indonesia diuntungkan dengan bentuk negara kepulauan sehingga mendukung untuk pelabuhan dan akses kapal. Tak hanya itu, lokasi yang berada di antara Rusia, China dan Australia juga menjadi faktor yang pihaknya pertimbangkan saat akan melakukan investasi.
Apalagi jumlah penduduk yang banyak sehingga mempermudah untuk memperoleh tenaga kerja. Dia mengklaim untuk pembangunan dan pengoperasian refinery alumina setidaknya membutuhkan tenaga kerja hingga 1.200 pekerja yang terdiri 600 pekerja pabrik dan 600 untuk perusahaan kontraktor.
“Salah satu kepercayaan kami terhadap sumber daya manusia Indonesia adalah kesuksesan PT Aneka Tambang dalam menjalankan bisnis pabrik kimia,” ujarnya.
Alasan lain adalah kebutuhan aluminium di Indonesia yang mencapai 2,5 juta ton aluminium per tahun sehingga dibutuhkan produk alumina sekitar 5 juta ton. Namun, nantinya produk alumina dari pabrik refinery alumina di Indonesia juga akan dipasok ke smelter aluminium di Siberia dan China.
Sementara itu, Basic Element Group, induk perusahaan Rusal juga akan membangun jaringan rel kereta api di Kalimantan. Pasalnya, langkah itu diambil agar perusahaan memperoleh kepastian atas suplai batu bara bagi pabrik refinery alumina mereka.
Pasalnya untuk menghasilkan 1,2 juta ton alumina dibutuhkan sekitar 1 juta ton batu bara untuk menghasilkan uap. Dia mengaku listrik bukan menjadi kendala utama dalam pembangunan refinery karena listrik akan dibutuhkan bila akan membangun smelter aluminium.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara R. Sukhyar mengaku belum menerima dokumen apa pun terkait perijinan pabrik refinery alumina milik perusahaan asal Beruang Merah tersebut.
“Rusal tak pernah ajukan izin pemurnian sehingga bisa jadi mereka akan bekerja sama dengan salah satu pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Pemurnian di dalam negeri,” ujarnya.