Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengoreksi seluruh asumsi makroekonomi, kecuali harga minyak mentah Indonesia, menyusul perkembangan ekonomi yang meleset jauh dari kondisi yang digambarkan dalam APBN 2014.
Dalam outlook terbaru, pemerintah lebih pesimistis melihat prospek pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang dalam APBN 2014 ditargetkan 6%, dalam proyeksi terbaru pemerintah bisa mengarah ke 5,8%.
Outlook ini sejalan dengan Bank Indonesia yang sudah lebih dulu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di batas bawah dari rentang 5,8%-6,2%. Inflasi pun diproyeksi bisa mencapai 5,7%, lebih tinggi dari asumsi APBN 5,5%.
Deviasi paling besar ada pada asumsi rata-rata nilai tukar rupiah yang menurut pemerintah bisa terbang di kisaran Rp11.500-Rp12.000 per dolar Amerika Serikat, jauh dari asumsi APBN yang hanya Rp10.500 per dolar AS.
Realisasi lifting minyak pun ternyata di bawah target awal 870.000 barel per hari (bph).
Pemerintah memproyeksikan lifting tahun ini hanya akan berkisar 800.000-830.000 bph, berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Pesimisme juga disematkan pada target lifting gas yang diprediksi hanya 1.200-1.220 ribu bph setara minyak, lebih rendah dari asumsi APBN sebesar 1.240 ribu bph setara minyak.
Suku bunga surat perbendaraan negara (SPN) 3 bulan pun diproyeksikan bisa terbang ke 6%, jauh di atas asumsi awal yang hanya 5,5%.
Dari tujuh asumsi makro, pemerintah meyakini hanya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) yang tidak naik dari asumsi awal, bahkan berpeluang lebih rendah karena tren penurunan harga minyak internasional.
Pemerintah yakin ICP bisa turun menjadi US$103 per barel.
Dengan perubahan outlook sebagian besar asumsi makro, pemerintah mulai membulatkan niat mengajukan APBN Perubahan 2014 kepada DPR.
Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengatakan deviasi target lifting minyak dan kurs rupiah akan memberikan pengaruh besar terhadap postur APBN, terutama di sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas dan subsidi energi.
“Kami akan kaji lebih jauh. Jika dirasa perlu, pemerintah akan minta adanya APBNP. Kami akan putuskan internal dalam waktu dekat ini apakah (pengajuan APBNP) perlu dilakukan,” katanya daam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (19/2/2014).
Chatib menjelaskan ekonomi global masih menghadapi risiko pelemahan tahun ini sekalipun diperkirakan lebih baik dari 2013.
Hal itu mengacu pada akselerasi sektor riil di AS yang dibayangi risiko perbankan dan normalisasi kebijakan moneter, pemulihan di Eropa yang terkendala pembersihan neraca perbankan dan perlambatan ekonomi China.
Selain itu, potensi gejolak likuiditas global sebagai konsekuensi exit policy kebijakan moneter beberapa negara maju dan gejolak harga komoditas global memengaruhi pertumbuhan global.
Kondisi eksternal ini tentu akan berimbas terhadap pertumbuhan Indonesia.