Bisnis.com, BENGKULU -- Dalam rangka Hari Pers Nasional, Serikat Perusahaan Pers mengadakan diskusi dengan berbagai tema. Selain pembahasan seputar konvergensi media massa, seminar yang berlangsung di Bengkulu itu, Jumat (7/2/2014), juga menyoroti persoalan yang tengah dihadapi bangsa, yakni defisit energi, dengan tema “Ketahanan Energi di Tahun Politik.”
Peluang Indonesia untuk maju lebih cepat dalam pembangunan ekonomi, sesuai dengan potensinya yang besar dilihat dari sudut geografis, kekayaan alam, dan kependudukan, terhambat oleh kelangkaan energi. Sumur-sumur minyak baru sudah sulit ditemui, sementara sumur yang ada tak mampu lagi memberikan hasil maksimal karena memang ketersediaan minyak bumi secara alami menipis.
Pemerintah harus mengimpor minyak karena lonjakan permintaan dalam negeri yang terdorong oleh kebutuhan industri, permintaan listrik, serta lonjakan kepemilikan kendaraan roda dua dan roda empat. Harga gas untuk kebutuhan rumah tangga dan bisnis melonjak sehingga menimbulkan protes di mana-mana.
Sementara itu, sejumlah warga di Sumatra dan Kalimantan harus hidup dengan listrik yang byar-pet padahal kedua wilayah itu adalah penghasil utama sumber daya alam nasional. Dalam diskusi yang diikuti sejumlah pemimpin media itu tercuat lontaran tentang tikus yang mati di lumbung padi. Seperti itulah kira-kira situasi Indonesia dengan segala keterbatasan yang dihadapinya saat ini di bidang energi.
Apakah kita akan terus menerus mengandalkan impor energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri? Seberapa kuat anggaran pemerintah menahan tekanan biaya impor yang luar biasa itu? Bayangkan, dalam satu tahun nilai subsidi energi mencapai Rp300 triliun. “Inilah uang yang kita bakar,” ujar seorang pembicara, menggambarkan betapa bangsa kita membuang dana begitu besar untuk membiayai kebutuhan energi di dalam negeri.
Solusi atas masalah ini bukannya tidak ada, tetapi memang membutuhkan tekad yang luar biasa dari pemimpin baru Indonesia kelak untuk mengambil langkah terobosan, mengakhiri lingkaran setan subsidi energi yang membuat bangsa ini seperti berjalan di tempat di tengah berbagai potensinya yang luar biasa. Karena itulah SPS mengaitkan tema tentang energi itu dengan “tahun politik” 2014.
Dari paparan para pembicara, yang mewakili Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, SKK Migas, Pertamina, dan PLN itu terungkap bahwa masalah energi bagi bangsa Indonesia dapat dipecahkan dengan skema pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri yang bersifat holistik, melibatkan semua lembaga yang mengurus sumber daya alam, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sampai ke level yang paling rendah. Mengapa?
Seringkali persoalannya sama sekali tidak terkait dengan energi itu sendiri, tetapi lebih ke masalah ketersediaan lahan, perizinan, aturan-aturan hukum yang menghambat investasi, maupun egosentrisme daerah-daerah terkait perbatasan, dst. Padahal pemenuhan energi tidak hanya soal mengeksploitasi, dan mengeksplorasi, tetapi juga distribusi dan terpenuhinya azas skala ekonomi agar diperoleh harga yang tepat, yang tidak memberatkan konsumen dan mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya.
Tentu tak mungkin menjalankan bisnis—hal ini juga berlaku untuk perusahaan milik negara—jika terus menerus didera kerugian. Artinya, azas bisnis dan sosial BUMN perlu seimbang.
Contohnya, sudah lama orang membicarakan potensi panas bumi sebagai sumber energi, apalagi Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia. Tetapi, mengapa sampai kini baru sedikit yang dapat kita eksploitasi? Jawabannya ada di pemerintah yang tak mampu menetapkan skala bisnis panas bumi sehingga menarik bagi Pertamina atau perusahaan swasta untuk melakukan penambangan. Muncul pertanyaan, mengapa pemerintah tidak menyediakan anggaran memadai untuk eksplorasi panas bumi di tengah kebutuhan energi yang mendesak?
Persoalan energi adalah pekerjaan rumah serius bagi pemerintahan baru. Di atas kertas, banyak gagasan-gagasan brilian untuk mengatasi masalah tersebut, baik dari kalangan pemerintah sendiri maupun profesional. Pertanyaannya adalah apakah presiden baru nanti punya nyali besar untuk melakukan terobosan strategik?