Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk segera merevitalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia untuk menghindari dampak negatif lanjutan bagi lambatnya laju ekonomi dan investasi Indonesia.
Bernardus Djonoputro, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah Indonesia mengkhawatirkan keberlanjutan konflik diplomatik mencuatkan dampak negatif bagi kedua negara.
“Saya cukup khawatir jika kondisi ini berlangsung cukup lama, maka akan merusak hubungan kerjasama yang telah dijalin kedua negara itu [Australia dan Indonesia] dalam berbagai sektor,”ungkapnya di Jakarta, Selasa (4/2/2014).
Seperti diketahui, pembekuan hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia masih terjadi hingga saat ini. Konflik tersebut mencuat setelah aksi penyadapan pemerintah Australia terhadap sejumlah pejabat Indonesia. Akibatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil pulang duta besar Indonesia untuk Australia.
Padahal, Bernardo menjelaskan jumlah keseluruhan perdagangan tahunan antara Australia dan Indonesia mencapai US$15 miliar dan Negeri Kanguru ini juga merupakan donor terbesar bantuan Indonesia senilai US$508 juta pada tahun lalu.
Selain itu, Australia merupakan negara nomor 1 untuk tujuan studi internasional bagi masyarakat Internasional. “Banyak potensi yang bisa dikembangkan. Potensi pasar Australia dengan populasi 240 juta jiwa dan peluang Indonesia dalam G20, dan Masyarakat Ekonomi asean [MEA] pada 2015,”tekannya.
Selain itu, Bernardo mengungkapkan Indonesia dan Australia memiliki kemiripan terkait dengan terpusatnya pertumbuhan ekonomi di perkotaan. Lebih dari 50% penduduk Indonesia dan Australia bekumpul di kota sehingga memberikan resiko serupa.
Resiko itu mencakup meningkatnya emisi karbon, pembakaran hutan dan banjir. Kesamaan itu memberikan sebuah peluang untuk saling berbagi pengalaman sehingga solusi bisa dihasilkan dari pertukaran itu.
Belum lagi, Indonesia juga masih terhambat dalam mengembangkan kerjasama pemerintah swasta untuk mengurangi backlog infrastruktur. Akibatnya, harga logistik menjadi melambung di beberapa wilayah Indonesia dan memicu kesenjangan ekonomi dan produk Indonesia kehilangan daya saingnya.
“Australia sudah punya pengalaman dalam bidang KPS. Indonesia sepertinya perlu belajar lebih jauh karena progress KPS hingga saat ini masih banyak terkendala permasalahan pembebasan lahan,”tambahnya.
SISTER CITY
Bupati Wakatobi Hugua mengatakan penurunan tensi diplomatik antara Indonesia dengan Australia dapat dilakukan melalui peningkatan hubungan antara individu antara lain melalui konsep sister city.
“Kita kan punya beberapa organisasi misalnya Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia [APKASI] di tingkat nasional dan United City Local Government [UCLG]. Jika kita punya komitmen kuat, organisasi-organisasi seperti itu bisa dimanfaatkan,”katanya.
Dirinya mengungkapkan permasalahan mendasar dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia justru terletak pada hubungan antar individu dan komunitas. Untuk itu, dia berharap para pemimpin nasional kedua negara bertindak cepat untuk mengatasi isu tersebut.
Australia, ucapnya, merupakan contoh yang tepat bagi Indonesia untuk mengembangkan potensi perkotaan yang tumbuh pesat beberapa tahun belakangan ini.
“Jika Australia sudah melakukan hal itu, maka Indonesia masih pada taraf belajar. Inilah yang harus dimanfaatkan,”tambahnya.
Hubungan antara Indonesia dan Australia tak ubahnya merupakan tetangga Pasifik yang telah berbagi pengalaman dan kerjasama di berbagai bidang antara lain hak asasi manusia, pendidikan, terorisme, perdagangan, investasi, penyalahgunaan narkotika, dan kebebasan pers.
“Sayang jika sejarah yang panjang ini menjadi tidak ada harganya akibat pembekuan diplomatic saat ini,”tekannya.
Menurutnya, jarak Australia dengan Wakatobi hanya membutuhkan 3-4 jam perjalanan sehingga potensi peningkatan wisatawan Australia ke Wakatobi juga merupaka peluang yang bisa dilirik ketika konflik diplomatik itu mereda.
Sebagian besar warga negara Australia, sebutnya, lebih memilih untuk pergi berlibur ke Bali dibandingkan ke daerah Timur misalnya Wakatobi, Bunaken, dan Raja Ampat. Kecenderungan seperti ini mengindikasikan popularitas daerah pariwisata masih rendah dan akses pendukung yaitu infrastruktur masih kalah jauh dibandingkan dengan kondisi di Bali.