Bisnis.com, JAKARTA—Tren penurunan kesejahteraan petani diperkirakan masih akan terjadi selama kuartal I/2014 seiring kondisi cuaca yang belum menentu dan banyaknya bencana alam yang melanda Tanah Air.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani (NTP) Januari 2014 turun sebesar 0,01% menjadi 101,95 dari NTP bulan sebelumnya. Adapun, sepanjang 2013 yang lalu, NTP tercatat 99,72 dengan NTP tahun dasar 2012=100.
Hal itu juga diperkeruh dengan rata-rata upah buruh tani pada Januari 2014 yang turun 0,59% menjadi Rp39.383 dari bulan sebelumnya Rp39.618 per hari, meskipun secara nominal rata-rata upah buruh tani naik 0,56% menjadi Rp43.808 dari bulan sebelumnya.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito H. Wibowo mengatakan harga produk pertanian sebenarnya menunjukkan peningkatan. Kendati demikian, biaya produksi petani pun justru ikut meningkat.
“Saya kira trennya masih stabil meski agak turun. Tetapi ini masih lebih baik karena hanya NTP dari subsektor tanaman pangan dan peternakan yang turun. Kalau dari hortikultura, perkebunan dan perikanan masih bagus,” ujarnya, Senin (3/2/2014).
Dia juga mengaku ragu apabila NTP dalam kuartal I/2014 ini dapat menunjukkan kenaikan. Hal itu dikarenakan banyaknya faktor yang mempengaruhi performa NTP, misalnya inflasi. Menurutnya, apabila inflasi mampu dijaga maka penurunan NTP bisa direm.
Sasmito juga berharap setelah bencana alam berakhir, program-program bantuan yang dibuat pemerintah bisa segera diimplementasikan. Selain konsistensi, dia juga berharap program yang digulirkan pemerintah adalah untuk peningkatan produktivitas.
NTP adalah salah satu indikator dari kesejahteraan petani. Rasio tersebut merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani, dengan indeks harga yang dibayar guna keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi pertanian.
Data BPS menunjukkan penurunan NTP Januari 2014 disebabkan menurunnya NTP subsektor tanaman pangan sebesar 0,37% dan subsektor peternakan 0,03%. Berbanding terbalik, subsektor hortikultura naik 0,24%, perkebunan rakyat 0,23% dan sebsektor perikanan 0,50%.
Dari 33 provinsi yang disurvei, 20 provinsi mengalami kenaikan, 12 provinsi mengalami penurunan dan 1 provinsi relatif stabil. Kenaikan NTP Januari 2014 tertinggi terjadi di Sumatera Barat sebesar 0,98%. Sementara penurunan NTP terbesar terjadi di Sulawesi Tenggara sebesar 1,47%.
Kenaikan tertinggi NTP di Sumatera Barat disebabkan kenaikan subsektor tanaman perkebunan rakyat terutama kakao yang naik sebesar 5,34%. Sedangkan penurunan NTP di Sulawesi Tenggara dikarenakan penurunan sebsektor tanaman pekebunan rakyat pada kakao sebesar 2,22%.
Sementara itu, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan kenaikan NTP berdampak langsung terhadap garis kemiskinan nasional terutama di pedesaan.
“Ini [NTP] sangat berkorelasi dengan jumlah warga miskin di pedesaan karena sebagian besar warganya berprofesi petani. Bahkan, warga nyaris miskin pun paling banyak dari pertanian. Jadi, turunnya NTP itu signifikan terhadap kemiskinan,” tuturnya.
Menurutnya, disparitas harga yang lebar di level petani dan pedagang menyebabkan harga yang diterima petani sangat kecil. Meskipun di saat yang sama, inflasi yang tinggi menyebabkan harga komoditas pertanian melonjak.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa menyiapkan solusi untuk menekan tingginya disparitas harga. Apabila tidak, sambungnya, tren NTP berpotensi terus menerus turun kedepannya. Alhasil, tingkat kemiskinan semakin sulit untuk ditangani.
Dia memperkirakan angka kemiskinan akan semakin melebar pada tahun ini. Hal tersebut dikarenakan, bertambahnya angka kemiskinan tidak lagi dipengaruhi oleh tekanan inflasi semata. Akan tetapi, juga dipengaruhi dari hilangnya mata pencaharian.
Sekadar informasi, jumlah penduduk miskin September 2013 mencapai 28,59 juta, naik 480.000 orang, atau 0,14% dari periode yang sama tahun sebelumnya 28,55 juta. Adapun, nilai tersebut sekitar 11,47% dari total penduduk Indonesia.