Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mengaku menetapkan asumsi makroekonomi dan APBN melalui perencanaan yang matang.
Menteri Keuangan M.Chatib Basri menjelaskan penyusunan APBN bermula dari rencana pembangunan jangka menengah dan panjang nasional yang disampaikan Bappenas.
RPJMN dan RPJP itu a.l. memuat pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk mengejar target pembangunan jangka menengah dan panjang, termasuk untuk mengurangi angka kemiskinan.
Bappenas kemudian berkoordinasi dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) untuk menentukan asumsi pertumbuhan ekonomi yang juga menyangkut daya beli masyarakat di dalam produk domestik bruto.
Karena menyangkut daya beli, pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Dari situlah, pemerintah mendapat asumsi inflasi. Adapun asumsi tentang lifting minyak bumi dan gas didapat setelah Kemenkeu berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dari asumsi makro itulah, terutama pertumbuhan ekonomi, Ditjen Pajak menggunakannya –ditambah upaya ekstra – sebagai basis untuk menyusun target penerimaan pajak.
Simultan dengan itu, Ditjen Anggaran menyusun APBN dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan.
Dari angka pendapatan dan belanja itu, didapatlah keseimbangan primer. Postur RAPBN itu kemudian dibahas bersama di lingkup Kemenkeu sebelum dibawa ke DPR.
“Jadi, tidak disusun belanjanya dulu. Biasanya itu negara kaya yang uangnya selalu ada. Dia tentukan dulu mau beli apa, baru cari uangnya. Kalau yang menyusun pendapatannya dulu, itu biasanya negara miskin. Dia lihat dulu uangnya berapa,” jelasnya, Rabu (8/1/2014).
Chatib mengatakan cara yang paling jitu agar asumsi makro relevan dengan kondisi terkini adalah dengan menyusun nota keuangan menjelang pengajuan ke DPR. Namun, lanjutnya, hal itu hampir mustahil dilakukan mengingat penyusunan nota keuangan melibatkan banyak pihak dan membutuhkan waktu cukup lama untuk berembuk.
Selama ini, nota keuangan tahun depan sudah mulai dibahas Maret tahun berjalan untuk kemudian diajukan Agustus kepada DPR.