Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha makanan dan minuman (mamin) Indonesia menolak tegas adanya rancangan undang-undangan jaminan produk halal (RUU JPH) yang sekarang masih dalam tahap pembahasan. Pasalnya, labelisasi halal akan menghambat proses pertumbuhan industri mamin.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Franky Sibarani mengatakan tidak setuju apabila labelisasi halal diterapkan di negeri ini.
“Jelas kami menolak. Itu jelas merugikan kalangan pengusaha [makanan dan minuman],” jelasnya hari ini, Minggu (29/12/2013).
Franky menerangkan selama ini pelabelan halal dari industri mamin masih menerapkan sistem sukarela. Artinya, apabila produsen ingin mengklaim produk halal, produsen bisa mendaftarkan diri Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI),
“Itu yang sudah berlangsung selama ini. Jadi industri sendiri yang mendaftarkan diri [klaim halal],” terangnya.
Kendati sebagian besar industri makanan di Indonesia belum mencantumkan produk halal, Franky menerangkan bukan berarti produk industri makanan dan minuman itu disimpulkan haram.
“Jangan salah persepsi. Tidak terdaftar halal bukan berarti produknya haram,” ujarnya.
Menurutnya, industri produksi makanan dan minuman yang telah teregister produk halal mencapai 20.000–an jenis produk. Franky memaparkan sangat susah apabila seluruh produksi makanan dan minuman harus berlabel halal. Hal itu lantaran komponen bahan baku suatu makanan sangat banyak macamnya. Misalkan, dalam satu produk makan terdiri dari 50 komponen bahan baku maka sangat sulit apabila 50 komponen itu harus terdaftar halal.
“Itu lah kendala yang dihadapi pengusaha mamin,” tuturnya.
Franky mengatakan ada banyak aspek yang perlu dilihat dalam pelabelan produk halal. Proses pembuatan bahan baku harus dicek secara keseluruhan, dilihat juga sertifikat masing-masing item bahan baku, ketersedian sumber daya manusia (SDM) seperti apa dan kesiapan laboratorium.
“Mungkin maksud pemerintah baik, tapi menuju ke sana masih banyak kendala. Karena ada ribuan industri makanan dan minuman yang harus terkena imbasnya,” paparnya.
Selain itu, katanya, bahan baku makanan di Indonesia sekitar 80% masih impor. Maka tidak bisa satu persatu produsen makanan mengecek satu persatu barang impor tersebut. “Ada banyak perusahaan menengah ke atas bisa jadi stagnan produksinya. Dampak terbesar dialami industri rumah tangga, mereka pasti tiarap,” ujar Franky.