Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan ada puluhan perusahaan tekstil yang mengajukan penangguhan pembayaran upah minimum regional (UMP) 2014.
Dewan Pembina API Benny Soetrisno mengatakan banyaknya daerah yang menetapkan UMP lebih besar dari kebutuhan hidup layak (KHL) membuat perusahaan banyak yang mengajukan penagguhan lantaran tidak mampu membayar upah buruhnya.
Meski begitu, Benny menilai jumlah perusahaan yang mengajukan penangguhan tidak sebanyak tahun lalu. “Iya [karena tak mampu bayar]. Data dari API Tangerang ada 39 perusahaan, kemudian KBN Cakung 17 perusahaan,” kata Benny seusai membuka acara Jobfair di kantor Kemenperin, Kamis (12/12/2013).
Sayang, pihaknya tidak memiliki data berapa total jumlah perusahaan di Jabodetabek yang mengajukan penangguhan. “Yang pasti lebih landai dari tahun lalu,” tambah dia.
Dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Instruksi Presiden No. 9/2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7/2013 disyaratkan besaran upah minimum diarahkan pada pencapaian KHL.
Seharusnya, upah minimum maksimal sebesar nilai KHL. Pada kenyataannya, banyak daerah dengan upah minium di atas KHL.
Meski demikian, pihaknya tidak begitu mengkhawatirkan akan terjadinya PHK besar-besaran di sektor ini. Menurutnya, selain masalah upah, ada hal yang lebih dikhawatirkan lagi oleh industri tekstil tahun depan, yakni adanya rencana kenaikan tarif dasar listrik lagi untuk kelompok industri.
“Bila itu terjadi, maka ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang ingin meningkatkan daya saing industri guna menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Tentu daya saing akan berkurang karena kenaikan tarif listrik pengaruh kepada kenaikan ongkos hingga 3%-4%,” tambahnya.
Di sisi lain, meski banyak hambatan, Benny masih optimis investasi sektor industri tekstil masih bisa menyentuh angka Rp2 triliun pada 2014. Restrukturisasi mesin tekstil dinilai bisa meningkatkan pertumbuhan investasi 2014.
“Kemungkinan masih sama dengan tahun ini, yakni Rp2 triliun. Sebenarnya bisa lebih, namun sektor perbankan sedang mengerem.”