Bisnis.com, JAKARTA - Batas maksimal luas konsesi hutan produksi sebaiknya ditetapkan bervariasi bergantung pada produktivitas lahan dan jenis industri yang akan dibangun.
"Pemanfaatan hutan produksi harus mengedepankan prinsip forest service efficiency," ujar Bambang Supijanto, Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, Selasa (12/11).
Untuk itu, sambungnya, diperlukan skenario baru yang mencakup parameter batasan luas konsesi yang efisien. Salah satu pertimbangannya adalah berapa kemampuan hutan dalam memberikan hasil.
"Luasannya akan ditentukan oleh tenurial. Ada hasil litbang, misalnya di Lampung, berapa sih peruntukan hutannya kalau diberi HTI 30.000 ha itu berapa hasilnya? Akan bervariasi," ujarnya.
Sebelumnya, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono menuturkan pemerintah tengah mendalami wacana pembatasan luas konsesi IUPHHK hutan alam dan hutan tanaman industri maksimal 40.000 ha. Batasan tersebut berlaku umum untuk jenis usaha kehutanan apapun, baik HPH atau HTI pertukangan, ataupun HTI kertas dan karet.
Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto menambahkan pembatasan tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir risiko pengelolaan hutan produksi, yakni api, perambahan, dan illegal logging, sehingga pengelolaan hutan produksi lebih optimal.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang hutan tanaman Nana Suparna mengaku tidak terlalu setuju dengan wacana pembatasan lahan konsesi kehutanan. Nana mempertanyakan latar belakang Kemenhut saat munculnya wacana tersebut.
"Kalau alasannya konflik dengan masyarakat saya tidak setuju. Itu tidak berkaitan dengan besar kecil HPH atau HTI. Kalau pembatasan dalam rangka menghindari monopoli lahan masih bisa kita terima," ujarnya.
Namun, wacana tersebut dinilai tidak aplikatif karena masih bisa dimanipulasi grup raksasa dengan membentuk anak usaha baru.
"Daripada pembatasan, lebih baik fokus ke kajian kinerja sebagai dasar penilaian pemberian areal kerja," kata Nana.
Selain itu, faktor jenis industri, lokasi konsesi, tingkat kesuburan, jenis tanaman yang dikembangkan, ketersediaan infrastruktur, dan skala ekonomi perusahaan harus turut dipertimbangkan.
"Belum tentu 100.000 ha di kabupaten A sama kondisinya dengan 100.000 ha di kabupaten B. Jadi sangat bervariasi, jangan dibatasi oleh aturan yang saklek," ungkapnya.