Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia harus bersiap dengan nilai tukar rupiah di atas Rp10.000 per US$ dan imbal hasil obligasi pemerintah di level 8%-9% jika Amerika Serikat mengakhiri pelonggaran kuantitatif.
Menteri Keuangan M.Chatib Basri mengatakan negara berkembang, seperti Indonesia, harus siap kembali ke dunia tanpa stimulus moneter (quantitative easing) yang digulirkan bank sentral AS The Fed untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi pascakrisis keuangan 2008.
Sebelum The Fed menggulirkan kebijakan moneter tidak lazim (unconventional monetary policy) itu pada Maret 2009, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp11.000-Rp11.500 per dolar AS. Adapun yield surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun bergerak di level 8%-9%.
Rupiah pada perkembangannya menguat ke kisaran Rp8.000 per dolar AS dan yield SUN 10 tahun menipis menjadi 6%.
Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan kurs rupiah dan imbal hasil SUN kembali ke posisi awal yang disebutkan sebagai titik keseimbangan baru.
“Jangan terlalu khawatir akan proses ini. Yang harus kita kerjakan adalah bagaimana meyakinkan pasar bahwa ketika kita bergerak ke ekuilibrium baru, tidak terlalu banyak shock di market,” katanya dalam acara Mandiri Investment Forum 2013, Senin (11/11/2013).
Situasi serupa, lanjutnya, kemungkinan juga akan dialami oleh negara berkembang lainnya.