Bisnis.com, JAKARTA -- Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme mendesak pemerintah untuk tidak menyerahkan nasib perekonomian Indonesia kepada forum G-20 dan kembali membuat kesepakatan internasional baru yang merugikan Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tengah menghadiri G-20 Leader Summit di St. Petersburg, Rusia, yang digelar 5-6 September 2013.
Tiga agenda utama Summit G-20 ke-8 ini, meliputi growth through quality jobs and investment, growth through trust and transparency dan growth through effective regulation.
Salah satu agenda utama di G-20 Summit ke-8 adalah hendak mendorong agenda penguatan terhadap perdagangan multilateral WTO dengan pencapaian kesepakatan Paket Bali yang akan didorong dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO Desember mendatang.
Paket Bali itu meliputi fasilitasi perdagangan (trade facilitation), pertanian dan pembangunan least developed countries (LDCs).
Indonesia for Global Justice (IGJ) yang tergabung dalam gerakan tersebut menyatakan solusi yang ditawarkan forum G-20 belum mendorong suatu perubahan fundamental tata dunia dari dominasi sistem neoliberalisme-kapitalisme.
Direktur Eksekutif IGJ M. Riza Damanik mengatakan Forum G-20 Summit ke 8 di Rusia akan dijadikan legitimasi atas penyepakatan Paket Bali pada KTM 9 WTO Desember 2013 nanti di Bali.
“Legitimasi itu akan menutup celah bagi keberhasilan perundingan pertanian terkait Proposal G-33 tentang public stockholding dan food aid,” katanya dalam siaran pers, Kamis (5/9).
Menurutnya, masuknya isu fasilitasi perdagangan ke dalam paket perundingan KTM 9 WTO di Bali nanti merupakan strategi yang digunakan oleh negara maju untuk mengembalikan pembahasan New Issues (Singapore Issues) ke dalam perundingan WTO yang dahulu sempat terhenti.
Fasilitasi perdagangan mendesak negara berkembang untuk semakin memfasilitasi produk impor yang berasal dari negara maju. “Hal ini akan merugikan negara-negara berkembang, khususnya Indonesia,” katanya.