Bisnis.com, JAKARTA-- Buton sudah sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil aspal alam terbesar, setidaknya 80% cadangan aspal alam dunia terkandung di dalamnya, sementara sisanya tersebar di Trinidad, Meksiko, dan Kanada.
Tidak mengherankan, bila aspal menjadi identitas pulau bagian tenggara Sulawesi tersebut.
Sejak pertama kali ditemukan pada 1924 oleh seorang geolog asal Belanda, WH Hetzel, aspal batu buton atau yang dikenal dengan nama asbuton ini telah beberapa kali mengalami pasang surut seiring dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi.
Asbuton yang sebelumnya sempat diolah oleh PT Perusahaan Aspal Negara mengalami masa keemasan pada era 1970 hingga 1980. Produksinya bahkan pernah mencapai 500.000 ton per tahun.
Sayangnya itu hanya cerita lama. Aspal yang sebetulnya dapat dengan mudah dieksplore dan menjadi sumber penghasilan utama Buton, kini hanya teronggok tak berdaya dan terkubur di perut bumi.
Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun mengakui hingga saat ini belum ada proses eksplorasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah terhadap asbuton.
Padahal, aspal yang berada di kawasan Lawale, Buton ini dapat dengan mudah diraup karena berbentuk tumpukan yang menggunung, melingkupi areal seluas 43 hektare bahkan ketika digali hingga kedalaman 1000 meter pun aspal masih ada.
Diperkirakan, dalam kurun 300 tahun digali sumber alam ini tidak akan habis.
Ironisnya, pemerintah tampak lebih senang mengimpor aspal minyak dari negara tetangga daripada menggali secara maksimal potensi yang ada di negeri sendiri.
Dengan begitu, meski merupakan sumber kekayaan utama, asbuton belum memberikan kontribusi yang maksimal terhadap pendapatan daerah.
“Asbuton belum mendapat perhatian pemerintah. Kami juga tidak tahu kenapa asbuton tidak secara maksimal dieksplorasi. Padahal potensinya luar biasa besar bahkan 80% cadangan aspal dunia ada di Buton,” ujarnya ditemui di sela-sela Pagelaran Kesenian Budaya Tua Buton, Kamis (22/8/2013).
Samsu juga menyayangkan ketika asbuton terkena moratorium ijin pertambangan yang menyebabkan bupati tidak bisa mengeluarkan ijin usaha pertambangan (IUP). Hal tersebut menurutnya akan merugikan dan semakin membuat potensi asbuton terkubur di perut bumi.
Untuk itu, dia meminta pada Menko Perekonomian agar memberikan keistimewaan pada Buton agar dapat pengelolaannya dapat dimaksimalkan. “Aspal tidak ada dimana-mana, apalagi ini belum dieksplorasi secara maksimal. Kalau dibiarkan, asbuton ini hanya akan menjadi harta di dalam tanah yang terganjal karena regulasi.”
Samsu menjelaskan asbuton memiliki keunggulan karena merupakan aspal alam yang memiliki ketahanan dan elastisitas yang tinggi dibandingkan dengan aspal ekstrasi.
Jika terkena matahari dan hujan, asbuton akan semakin kuat dan padat, teksturnya pun elastis sehingga kecil kemungkinan mengalami keretakan.
Seharusnya, keistimewaan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah di tengah kondisi masih banyaknya jalan-jalan rusak di Indonesia.
Apalagi, dengan adanya proyek MP3EI yang diperkirkan membutuhkan sekitar 4,7 juta ton aspal pada 2014 mendatang, akan lebih baik bila pemerintah melirik potensi aspal dalam negeri yang lebih kuat dan elastis.
Selain memiliki kekuatan dan tingkat elastisitas yang tinggi, dengan eksplorasi lebih lanjut, asbuton pun bisa menghasilkan minyak berat. Sebab, asbuton dulunya terbentuk dari minyak yang terperangkap di dalam lapisan bumi.
Ketika Pulau Buton mengalami beberapa kali patahan, kandungan minyak yang terperangkap tersebut naik dan menembus ke bagian atas sehingga bercampur dengan tanah kapur, dari kejadian alam itulah terbentuk aspal batu Buton atau asbuton.
Hedy Rahadian, Kasubdit Teknik Jalan Kementerian PU mengakui saat ini penggunaan asbuton untuk jalan nasional yang panjangnya mencapai 38.569 km, masih minim hanya sekitar 50.000 ton, sementara sisanya menggunakan aspal minyak.
Memang sebagai hasil alam, ketersediaan asbuton di Indonesia sangat melimpah. Namun menurut Hedy keberlimpahan tersebut dalam bentuk yang belum terproses.
Masalah lain dari asbuton karena ketersediaan di alam sangat variatif kandungannya sehingga dengan proses yang tidak memadai justru aan berakibat buruknya keseragaman produk.
Padahal, untuk digunakan menjadi aspal jalan perlu proses lebih lanjut, bahkan untuk asbuton setelah terproses masih dibutuhkan penyempuraan teknologi yang lebih spesifik, berbeda dengan teknologi aspal pada umumnya.
Sebetulnya sudah ada teknologi yang dinilai berhasil secara teknis untuk pengembangan asbuton tetapi masih perlu penyempurnaan lebih lanjut sehingga reliabilitasnya meningkat dan dari segi harga bisa kompetitif dari harga aspal minyak.
“Penggunaan asbuton di lapangan memang masih minim karena dalam beberapa evaluasi aplikasi lapangan, perlu peningkatan reliabilitas produk, penyempurnaan praktek di lapangan dan teknologi yang membuat harganya lebih kompetitif,” tuturnya ketika dihubungi Bisnis.
Asbuton diakui memiliki kelebihan karena kelekatannya yang membuat jalan lebih tahan air, dimana air selama ini dianggap sebagai musuh utama yang membuat banyak jalan di Indonesia rusak berat.
“Kalau secara produk sudah handal dan reliable serta cost competitive, tanpa campur tangan pemerintah pun, melalui mekanisme pasar yang ada, asbuton akan dicari penyedia jasa untuk pelaksanaan proyek jalan,” ucapnya
Oleh karena itulah, untuk mendorong pemberdayaan asbuton, Kementerian PU telah menerapkan kewajiban penggunaan asbuton pada beberapa paket pekerjaan dalam rangka membantu penyemaian dan pematangan teknologi.
“Tentu dalam tahap penyemaian dan pematangan ini, penggunaannya belum bisa besar-besaran karena berkaitan denan pengendalian resiko kegagalan.”
Sambil menunggu eksplorasi lebih lanjut yang akan dilakukan pemerintah pusat, pemkab Buton saat ini tengah gencar mengembangkan teknologi baru dari asbuton yang dapat memisahkan aspal dan minyak.
Dengan demikian, peruntukan asbuton tidak lagi sebatas untuk aspal jalan, tetapi juga telah menghasilkan minyak.
Menurut Samsu, dengan teknologi tersebut, setiap 5 ton aspal, bisa menghasilkan 1 ton minyak. Namun potensinya lebih besar karena setelah menjadi minyak, akan menghasilkan sekitar US$700 hingga US$800 per ton.
Dengan potensi yang ada tersebut, pemerintah daerah saat ini tengah berupaya untuk tidak tergantung pada pemerintah untuk pemanfaatan asbuton. Pihaknya pun semakin gencar mempromosikan potensi tersebut kepada investor asing.
Saat ini, sudah ada rencana kerjasama dengan investor dari China dengan ditandatanganinya MoU. Selain itu juga sudah ada beberapa negara lain yang melirik potensi tersebut seperti Amerika, Jerman, dan Prancis.
“Jika kapasitas produksinya bisa digenjot, tentu ini akan memberikan kontribusi kepada daerah. Pemerintah pun dapat menggali dan memanfaatkannya sehingga kita tidak lagi perlu mengimpor aspal atau minyak,” tuturnya.
Pada tahun ini, Samsu yang belum satu tahun menjabat sebagau Bupati, sudah mendapatkan kontrak sebesar 6 juta ton asbuton dari investor asing.
Setiap 1 ton, bisa memberikan kontribusi sekitar 50 ribu atau US$5 pada daerah, sehingga dari pengolahan tersebut, daerah berpotensi mendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp300 miliar.
“Sebelumnya PAD yang didapatkan hanya sekitar Rp18 miliar hingga Rp20 miliar karena aspal ini belum tergali potensinya, tahun ini targetnya bisa mencapai Rp300 miliar,” tuturnya.
Hanya saja saat ini dia meminta agar pemerintah pusat mempercepat proses perbaikan infrastruktur di Buton sehingga dapat lebih menarik investor untuk menanamkan modalnya di sana.
Area Lawale yang kaya aspal ini, sejak tahun 1980 an diolah oleh PT Sarana Saka, anak usaha PT Wijaya Karya yang mengambil alih dari PT Perusahaan Aspal Negara tetapi pengolahannya dinilai belum maksimal.
Untuk mengembangkan kembali potensi yang ada di perut bumi Buton, pemda telah membentuk Perusahaan Daerah yang secara khusus mengelola asbuton.
Semoga saja, aspal yang selama ini terpendam dapat kembali meraih kejayaannya sehingga dapat membantu pembangunan dan perekonomian Indonesia, terutama meningkatkan derajat ekonomi Buton yang saat ini masih menjadi daerah tertinggal.
Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin M Said mengatakan dengan adanya penemuan teknologi yang dapat mengubah aspal menjadi minyak, dia melihat hal ini sebagai sebuah potensi yang dapat dimanfaatkan oleh daerah.
Hanya saja saat ini yang dibutuhkan adalah sosialiasi yang terus menerus sehingga dapat dilirik oleh para investor. (ra)