Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah dan Bank Sentral diharapkan berkoordinasi khusus untuk menentukan level nilai tukar rupiah yang aman agar mengurangi risiko currency loss di pasar surat utang negara.
Fakhrul Aufa, Analis Obligasi PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA), mengungkapkan pada saat ini terjadi tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan Bank Sentral.
Di satu sisi, pemerintah membutuhkan nilai tukar yang relatif kuat dan stabil agar investor asing kembali masuk ke pasar obligasi dan yield akan bergerak turun. Namun, di sisi lain, Bank Sentral berusaha mengendalikan inflasi dengan memperlambat laju impor.
Salah satu cara yang ditempuh untuk menekan laju impor adalah dengan membiarkan nilai tukar rupiah melemah sehingga impor menjadi mahal yang akan diikuti penurunan konsumsi barang impor sekaligus memperbaiki neraca perdangangan.
“Butuh koordinasi pada level berupa rupiah harus dijaga agar saling menguntungkan,” katanya, Rabu (31/7/2013).
Dia menjelaskan investor meminta yield yang lebih tinggi akibat terkompensasi oleh risiko nilai tukar tersebut. Adapun, currency risk premium untuk tenor 10-tahun pada pekan lalu melebar ke kisaran 540 basis poin dibandingkan dengan posisi pekan sebelumnya yang masih berada di level 538,6 basis poin.
Pelebaran ini diakibatkan adanya kenaikan yield surat utang negara 10 tahun yang lebih cepat dari yield U.S Treasury 10 tahun. Selain pelemahan nilai tukar Rupiah, meningkatnya risiko pasar bagi investor asing pun terlihat dari meningkatnya Credit Default Swap (CDS) spread tenor 5 tahun Indonesia sebesar 12,9 basis poin dari level 194,86 ke level 207,77.