Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Masyarakat Adat: MIFEE Dilaporkan ke Komisi PBB

Bisnis.com, JAKARTA--The Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) diminta untuk mendesak pemerintah Indonesia menghentikan proyek the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena mengancam keberlangsungan masyarakat adat

Bisnis.com, JAKARTA--The Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) diminta untuk mendesak pemerintah Indonesia menghentikan proyek the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena mengancam keberlangsungan masyarakat adat Malind serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di dalamnya.

Hal tersebut disampaikan 27 organisasi sipil yang berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman kepada CERD di Jenewa, Swiss. Mereka mendesak secara resmi komisi untuk PBB tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat adat Malind yang terampas lahan-lahannya akibat proyek MIFEE.

CERD adalah badan pakar independen yang memantau pelaksanaan oleh negara atas Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial  Sedikitnya tiga mekanisme dilakukan  komisi itu yakni prosedur peringatan dini, pemeriksaan pengaduan antar negara serta pemeriksaan pengaduan individu.

Para pemohon itu menyatakan sejak 2007, pemerintah telah menerbitkan pelbagai izin lokasi dan rekomendasi untuk akuisisi lahan untuk puluhan perusahaan dalam proyek MIFEE. Lahan-lahan tersebut rencananya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, perkebunan tebu, hingga tanaman industri.

"Sebanyak 20 perusahaan yang aktif untuk pengembangan bisnis perkebunan tebu, perkebunan kelapa sawit dan tanaman pangan, serta hutan tanaman industri," demikian keterangan tertulis para pemohon, Kamis (25/7/2013).  "Semuanya berlangsung di tanah adat orang Malind yang dilakukan dengan mengabaikan hak-haknya."

Y.L. Franky, peneliti Yayasan Pusaka, mengungkapkan masyarakat adat tersebut sangat bergantung pada tanah, kawasan hutan, padang dan rawa. Namun, paparnya, dengan masuknya investasi di sektor tersebut menyebabkan masyarakat Malind mengalami kesulitan untuk mengakses sumber kehidupannya selama ini.

Franky memaparkan perusahaan diduga mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan manipulasi maupun dengan pemberian ganti rugi yang rendah sebesar Rp2.000 hingga Rp300.000 per hektar untuk 35 tahun. Tak hanya itu, sambungnya, orang Malind di sekitar perusahaan pun kehilangan mata pencaharian atau menjadi buruh karena terpaksa untuk menyambung hidup.

Mohammad Islah, Pengkampanye Pangan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengatakan eksploitasi pembongkaran hutan dan rawa secara luas menimbulkan dampak besar sangat berarti bagi perubahan masyarakat. Tak hanya itu, namun juga  mengancam kelangsungan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. 

"Hal ini menggambarkan situasi gawat yang membutuhkan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi besarnya atau jumlah pelanggaran serius terhadap konvensi atas diskriminasi rasial," kata Islah. "Kami juga meminta pemerintah terlibat dialog resmi untuk mengatasi kekerasan di Papua."

Oleh karena itu, para pemohon juga merekomendasikan agar Indonesia mengabulkan permintaan atas kunjungan lapangan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak atas Pangan. Hal itu, sambung mereka, akan  menjadi dukungan Indonesia sendiri terkait dengan pemenuhan kewajiban internasional, termasuk tentang hak-hak masyarakat adat di Papua.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anugerah Perkasa
Sumber : Anugerah Perkasa
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper